Selasa, 30 September 2008

Dan Tuhan pun Berlebaran


Oleh: Abdul Kholiq
Lebaran berarti lebar, lebur, luber yang notabene merupakan sifat Allah Yang Maha Pengampun bagi manusia yang memang banyak membuat kekeliruan terhadap sesamanya, Penciptanya, dan bumi yang disediakan untuk mereka. Kalau kita melihat kecenderungan manusia dalam kehidupannya, kita menyadari bahwa mungkin manusia memang layak dihukum oleh Allah. Akibat kelalaian dan kecerobohan yang dibuat manusia, Allah pun punya banyak alasan untuk memberikan manusia hukuman yang setimpal. Tapi Gusti Allah sangat lebur; artinya memaafkan, mengampuni. Dalam Quran pun dinyatakan, Allah memiliki sifat ghafur artinya mengampuni, memaafkan. Jika Gusti Allah tidak memiliki sifat ghafur, manusia tentu dalam kehancuran. Dan manusia pun harus bisa memaknai segala sifat ketuhanan untuk bisa diterapkan pada kehidupan sesamanya. Pemaknaan itu dengan cara bahwa pengampunan harus melewati proses kesadaran dan pengakuan bahwa ia telah melakukan kekeliruan dan bersedia untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Jika kita telah mengambil sepatu milik teman kita, cara maaf adalah mengembalikan sepatu itu pada teman kita, meskipun tidak cukup dengan mohon maaf saja. Begitu juga kesalahan-kesalahan yang dibikin manusia terhadap Tuhannya. Manusia harus bersedia menggantikan kekeliruan yang dibuatnya dengan segala kesadaran untuk tidak mengulanginya lagi. Maka Tuhan pun akan melebur kesalahan-kesalahan dengan menggantikan jalan-jalan kemudahan bagi manusia.
Lebaran bagi banyak kalangan hanya sanggup dimaknai dengan baju baru dan bersilaturahmi. Mereka belum sampai untuk bisa menukik jauh ke dalam, menyelinap di balik makna-makna lebaran. Memang banyak manusia kurang berminat untuk menikmati keindahan makna-makna yang terkandung dalam setiap hal yang bersentuhan dengan dirinya. Lebih banyak hanya bisa dinikmati secara fisik ketimbang secara rohani, yang sebenarnya jauh lebih nikmat ketimbang menikmati baju-baju baru. Kita pun menyadari betapa sedikitnya penikmat jalan-jalan rohani. Di sisi lain, saat ini sedang terjadi proses pendangkalan dan pembusukan pada berbagai hal, karena ukuran-ukuran yang sering digunakan adalah ukuran seragam, peci, baju, titel haji, gelar akademik, yang sangat memungkinkan terjadi kekeliruan-kekeliruan fatal dalam penentuan sikap.
Idul Fitri --yang dirayakan jutaan orang dengan biaya yang tidak sedikit-- kurang bisa dimaknai dengan kecerdasan yang memadai. Seluruh manusia hiruk-pikuk merayakan dengan berbagai kegiatan, termasuk mega takbiran yang diselenggarakan pemerintah. Mereka menyangka bahwa dengan menyerukan takbir seantero langit, Tuhan pun merasa senang. Tapi Gusti Allah yang seharusnya diagungkan justru tidak dibesarkan bahkan dilupakan. Jika mereka, pemerintah, hendak berlebaran berarti lebar. Artinya, seharusnya mereka selesai dan rampung dari cara-cara untuk merampok kesejahteraan rakyat lantas memperbaiki kinerja yang masih amburadul; melihat kebijakan yang sedang berlangsung yang memungkinkan untuk rakyat bisa merasakan berlebaran sepanjang kehidupan bangsa; bukan hanya berlebaran sesaat; bergembira saat pulang kampung bertemu dengan sanak saudara; dan melupakan sesaat keresahan hidup. Memang tampaknya bangsa Indonesia tidak pernah berlebaran sesungguhnya,
Lebaran pun dijadikan sebagai ajang mengalihkan kegelisahan masyarakat urban yang tidak menemukan arti lebaran yang sesungguhnya. Hal itu karena kebijakan penguasa hanya seperti baju leberan, yang dipakaikan untuk orang yang sakit dan bukan mengobatinya agar sehat. Dengan membeli baju baru, mereka mengira hal itu bisa melupakan sakit mereka. Bangsa ini sedang melakukan penghancuran diri sendiri; memiskinkan diri sendiri; dengan merendahkan kebesaran-Nya. Dan yang paling mendasar, mereka tidak mengerti akan kebesaran-Nya.
Baca selanjutnya..

Senin, 29 September 2008

Shalat Berjamaah: Latihan Kepemimpinan dalam Islam

Kemarin malam, saya shalat tarawih di mushalla belakang rumah saya. Yang menjadi imam adalah paman saya yang usianya hampir 70 tahun. Saya sendiri berdiri tepat di belakang beliau. Saat itu, saya akui saya kurang khusyuk dalam shalat. Ketika sang imam kurang rakaatnya, saya pun jadi ragu-ragu untuk mengingatkan beliau. Walhasil, shalat pun diakhiri dengan jumlah rakaatnya yang kurang dari semestinya. Dus kesalahan imam harus ditanggung oleh seluruh makmum shalat tarawih saat itu. Orang-orang pun mengkritik saya yang tidak mengingatkan sang imam. Ah, memang tidak mudah untuk senantiasa khusyuk dalam shalat.
Dari kejadian tersebut, saya pun jadi tercenung. Ya, mencermati bagaimana orang Islam melaksanakan shalat berjamaah, adalah suatu yang menarik. Dalam ibadah tersebut, tercermin bagaimana memilih seorang pemimpin; bagaimana sang pemimpin melaksanakan kepemimpinannya; bagaimana rakyat menghadapi pemimpin mereka.
Sungguh indah ibadah shalat berjamaah. Orang Islam tidak hanya dididik untuk mengagungkan Tuhan, tapi juga bagaimana ia bersikap di tengah masyarakat. Mari kita perhatikan baik-baik. Dalam hukum Islam, imam shalat berjamaah adalah dipilih dari orang terbaik yang memang layak untuk memimpin shalat. Ia harus memiliki pengetahuan agama yang cukup, memiliki bacaan yang fasih, suaranya keras, berperilaku yang baik, dan lain-lain.
Hal ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan bahwa kita tidak boleh ceroboh dalam memilih pemimpin. Orang yang kita tunjuk sebagai pemimpin adalah orang berkualitas yang memang memiliki kualifikasi sebagai pemimpin yang baik. Pemimpin adalah orang yang betul-betul cakap, mampu, dan amanah untuk mengemban amanat dari rakyat.
Seorang imam dalam shalat berjamaah adalah juga seorang pemimpin yang harus ditaati oleh para makmumnya. Setiap perintah dan aba-aba sang imam harus diikuti oleh para makmum. Tidak boleh para makmum mendahului atau tidak segera mengikuti perintah yang diberikan sang imam. Hal ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan kepada orang-orang Islam untuk menaati pemimpin mereka; menaati hukum yang telah ditetapkan oleh sang pemimpin.
Meski kita diajarkan untuk menaati sang pemimpin, shalat berjamaah juga mengajarkan bagaimana rakyat boleh bahkan harus mengoreksi sang pemimpin jika melakukan kesalahan. Dalam shalat berjamaah, jika seorang imam salah dalam membaca Surah Alquran atau keliru dalam jumlah rakaat, misalnya, maka para makmum harus menegurnya dengan cara tertentu, yaitu bagi laki-laki dengan cara mengucapkan “subhanallah” dan bagi perempuan dengan cara menepukkan tangan ke tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin bukanlah malaikat yang tidak bisa melakukan kesalahan. Bahkan suatu Nabi pun pernah kesalahan dalam shalat berjamaah, sehingga beliau ditegur para makmum, lantas melakukan sujud sahwi.
Adanya tata cara tertentu dalam mengoreksi imam menunjukkan bahwa mengoreksi pemimpin harus mengikuti cara-cara tertentu yang santun dan tidak sembarangan. Hal ini agar kepemimpinan tetap berjalan dengan baik, dan shalat tetap terus dilangsungkan. Ketika kesalahan telah diperbaiki, sang imam melakukan sujud sahwi di akhir shalat, sebagai pertanda bahwa ia memang telah melakukan suatu kesalahan. Hal ini juga menunjukkan betapa seorang pemimpin harus dengan lapang dada dan berjiwa besar mengakui kesalahannya dan menerima kritikan dari rakyatnya.
Kritikan atau teguran dalam shalat berjamaah dilakukan oleh orang-orang yang berada di shaf paling depan yang paling dekat dengan imam. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus dikawal oleh orang-orang yang cakap dan memiliki pengetahuan yang berada di sekelilingnya. Karena itulah, dalam shalat berjamaah, orang-orang yang berada di shaf paling depan mestinya adalah orang-orang yang pandai dan cakap yang betul-betul bisa mengerti bagaimana seharusnya shalat dilakukan. Dengan demikian, orang-orang itu betul-betul bisa mengetahui ketika terjadi kesalahan dilakukan oleh sang imam.
Nah hal ini juga menunjukkan betapa dalam sebuah masyarakat, para tokoh dan cendekiawan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan harus berada di dekat pemimpin sehingga betul-betul bisa mengoreksi sang pemimpin jika terjadi kesalahan. Para pemimpin tidak boleh dikelilingi oleh orang-orang yang tidak cakap dan tidak mengerti bagaimana tugasnya. Jika para pembantu sang pemimpin terdiri dari orang-orang yang tidak cakap, maka masyarakat akan menjadi korban jika pemimpin melakukan kesalahan dan tidak ada yang bisa atau berani mengoreksinya.
Ketika seorang imam melakukan sesuatu yang bisa membatalkan shalatnya, misalnya, dengan berkentut, maka ia pun harus digantikan oleh orang yang berada di dekatnya yang memang cakap untuk menjadi imam pengganti. Sementara shalat berjamaah pun tetap terus bisa dilaksanakan. Hal ini menunjukkan betapa orang-orang yang berada di sekeling imam adalah orang-orang yang betul-betul mampu dan cakap sehingga jika terjadi sesuatu yang membuat sang pemimpin harus lengser dari kekuasaannya, mereka bisa menggantikannya tanpa harus menimbulkan kekacauan.
Karena shalat berjamaah memberikan peluang bagi para makmum untuk mengingatkan atau bahkan menggantikan sang imam, maka para makmum pun tidak boleh lengah atau mengantuk dalam mengawasi jalannya kepemimpinan sang imam. Hal ini menggambarkan bahwa Islam mengajarkan kepada orang-orang Islam agar tidak lengah dan lupa mengawasi jalannya pemerintahan. Orang-orang Islam tidak boleh larut dengan pikiran dan kepentingan mereka masing-masing sehingga melupakan bahwa mereka adalah bagian dari jamaah yang harus ikut mengawasi jalannya kepemimpinan. Tugas pengawasan ini terutama dilakukan oleh tokoh atau orang-orang pandai yang memang mengerti bagaimana seharusnya memimpin.
Ada satu hal lagi yang membuat ajaran shalat berjamaah menjadi begitu indah. Shalat berjamaah merupakan ajang latihan bagi kita untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kita dilatih untuk mengasah jiwa kepemimpinan. Seorang imam dituntut mampu untuk memobilisasi orang-orang agar mau shalat berjamaah. Tentu tidak mudah untuk mengajak agar orang-orang rela melakukan shalat berjamaah. Betapapun orang per orang masing-masing memiliki ego dan kepentingan bermacam-macam. Mengajak melakukan shalat berjamaah berarti mengajak orang lain untuk melepaskan ego dan kepentingannya agar sudi menjadi makmum (pengikut) di bawah komando seorang imam (pemimpin). Jika kita berhasil mengajak orang lain untuk shalat berjamaah, maka kita sudah berhasil setapak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Sebagai latihan awal, kita bisa membiasakan shalat berjamaah di lingkungan keluarga kita sendiri: istri dan anak sebagai para pengikut (makmum). .Jika kita sudah terbiasa menjadi pemimpin (imam) di lingkungan yang kecil, maka kita memiliki pengalaman untuk menjadi pemimpin di skala yang lebih besar.
Begitulah. Betapa indah ajaran Islam. Sayang sekali, orang-orang Islam sendiri banyak yang tidak menyadarinya. Wallahu a’lam.
Baca selanjutnya..

Sabtu, 27 September 2008

Perempuan Berbugil Ria

Perempuan yang membuka auratnya, bahkan hingga auratnya yang paling pribadi, merupakan perempuan pemberani. Pasukan berani malu! Sungguh, perempuan yang berani menggadaikan kehormatannya dengan harga sangat murah! Mengapa murah? Karena kehormatan perempuan memang sangat mahal sehingga tidak bisa diukur dengan materi. Apalah artinya uang jutaan dari hasil pemotretan foto bugil jika kemudian kehormatan sebagai perempuan lenyap dari dirinya.
Di belahan dunia yang paling sekuler dan liberal sekalipun, seorang wanita yang menghargai dan menghormati dirinya tidak akan memamerkan aurat tubuhnya di depan umum. Tanyakan saja, pada Hillary Clinton, apakah ia mau berfoto bugil di depan kamera lantas foto itu dipublikasikan ke khalayak umum. Aku yakin ia pasti menolak ide gila itu. Bukannya popularitas yang akan ia dapat guna menggapai impiannya sebagai presiden Amerika, tapi justru cacian dan makian yang justru semakin menjatuhkannya ke liang paling dasar dari bursa pencalonan presiden Amerika.
Mungkin ada yang berkata, “Terang aja, Hillary tidak mau. Dia kan merasa nggak cantik. Tidak seksi dan fashionable.” Meskipun Hillary Clinton seorang perempuan cantik, dulunya merupakan artis yang seksi, pernah difoto bugil, dan masih muda, tetap saja ia kini tidak akan mau mempertaruhkan reputasinya sebagai perempuan terhormat yang juga istri dari mantan seorang presiden. Saya yakin, ia tidak sudi memamerkan auratnya di muka umum layaknya para fotomodel Playboy atau Penthouse. Ia tidak akan bertindak konyol dengan mencampakkan peluangnya untuk menjadi presiden hanya karena foto bugil yang juga konyol. Masih dalam ingatan kita, betapa banyak hujatan dan cacian kepada Dewi Soekarno yang notabene mantan istri Presiden Soekarno. Saat itu dengan bangganya, Dewi Soekarno berfoto bugil ria dan dipublikasikan ke seantero jagat.
Dengan demikian, konsep aurat perempuan yang diperkenalkan oleh Islam, sebenarnya diakui pula oleh masyarakat di belahan manapun di muka bumi, termasuk negeri paling liberal dan sekuler sekalipun. Kebebasan seks dan kebebasan informasi ternyata tidak serta merta menghilangkan habis nurani manusia tentang arti menjaga aurat dan kehormatan diri.
Terkadang aku berpikir, betapa anehnya perempuan modern di masyarakat sekarang. Mereka berteriak tidak mau dilecehkan. Tapi di sisi lain, mereka dengan sukarela menjadikan dirinya sasaran pelecehan orang lain. Jika Dewi Persik tidak ingin dilecehkan, maka jagalah kehormatan dirinya; bungkuslah tubuhnya dengan sopan. Bukan dengan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya di depan banyak orang, termasuk para lelaki kurang ajar yang mudah terpancing berahinya. Sungguh tidak logis.
Aku pernah membaca koran tentang seorang artis Italia yang doyan berbugil ria di depan kamera, bahkan di depan banyak orang di tengah lapangan sepak bola jika klubnya berhasil menang. Tak ayal ia pun dikenal sebagai artis yang seksi dan mampu mengaduk-aduk berahi para lelaki yang melihatnya. Tentu saja logis, jika kemudian ada lelaki yang mengajaknya tidur bersama. Tentu saja masuk akal, jika kemudian banyak lelaki menganggapnya sebagai perempuan yang bisa diajak kencan. Karena itu, menjadi lucu jika kemudian sang artis itu mencak-mencak ketika ada beberapa pemain sepak bola terkenal yang mengajaknya bermain seks. Bukankah artis itu sendiri sudah menyediakan dirinya sendiri secara suka rela untuk dianggap sebagai perempuan murahan? Kenapa harus marah-marah?
Terkadang para feminis membantah bahwa hal itu karena kaum lelaki yang tidak bisa menghargai perempuan dan pikirannya sudah kotor. Kalau lelaki yang melihat seorang perempuan berpakaian seksi, tapi pikirannya tidak kotor dan melayang kemana-mana, tentu tidak akan terjadi masalah.
Sesungguhnya, menurutku, pendapat kaum feminis adalah sangat absurd. Apa yang terpikir oleh seorang lelaki di dalam otaknya juga merupakan refleksi dari apa yang dilihatnya. Ada prinsip sebab akibat, prinsip kausalitas. Adalah suatu hal yang lumrah jika lelaki akan terangsang jika melihat pemandangan yang mengaduk-aduk berahinya. Justru merupakan tidak normal, jika lelaki memandang perempuan yang berpenampilan seksi, namun tidak terangsang. Persoalannya kemudian, apakah rangsangan itu bisa dikendalikan oleh si lelaki atau tidak. Itu yang berbeda antara satu lelaki dengan lelaki lain.
Hukum Islam kuyakini bersifat universal, sangat manusiawi, rasional, dan alamiah. Hukum Islam menyuruh perempuan menutup auratnya dan menyuruh lelaki serta perempuan untuk menjaga penglihatannya. Hal itu karena sudah sangat jelas, aurat perempuan yang terbuka dan pandangan lelaki yang tidak dikendalikan adalah bisa menjadi sumber malapetaka. Pemerkosaan adalah harga yang mahal untuk menebus kebebasan yang diobral di masyarakat kita.

Perlu Dikasihani
Perempuan yang berbugil ria sebenarnya perlu dikasihani. Mengapa? Karena sesungguhnya ia telah merendahkan dirinya sendiri sehingga tak ubahnya seperti binatang. Ia telah melepaskan harkat dirinya sebagai manusia. Bagaimanapun, binatang tidak memerlukan baju. Binatang juga tidak memiliki rasa malu. Sesuai dengan naluri kebinatangannya, seekor binatang betina berperilaku menggoda sang pejantan. Sementara sang pejantan berusaha mendekati sang betina sehingga bisa memuaskan naluri berahi.
Begitupula dengan seorang perempuan yang membuka bajunya dan memamerkan auratnya. Sesungguhnya saat itu, ia tak ubahnya seekor binatang betina yang sedang menggoda sang pejantan. Binatang tidak memerlukan lembaga perkawinan untuk melampiaskan nafsu berahinya. Dengan demikian, manusia yang melakukan hubungan tidak dalam ikatan lembaga perkawinan, sesungguhnya mereka sedang meniru perilaku binatang. Atau paling tidak, mereka sedang kembali ke zaman manusia primitif yang memang tidak mengenal lembaga pernikahan.
Apa yang akan terjadi jika manusia sudah merendahkan dirinya sehingga ke derajat binatang? Kesengsaraan dan kehinaan. Makhluk yang berperilaku tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka sesungguhnya ia berperang melawan kodratnya. Peperangan itu hanya akan melahirkan kesengsaraan dan kehinaan. Bukankah manusia diciptakan agar ia bisa menjadi makhluk yang mulia di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain? Manusia telah dianugerahi akal, hati nurani, dan dipandu oleh kitab suci. Perangkat-perangkat itu bisa ia gunakan untuk mencapai derajat yang tinggi sebagai makhluk dan meraih kebahagiaan yang lebih hakiki.
Kebahagiaan bukanlah diukur dari kepuasan seksual. Jika kepuasan seksual adalah ukuran kebahagiaan, tentu saja para pelacur adalah orang-orang yang paling berbahagia di muka bumi ini. Dus, orang yang tidak menjalani kebahagiaan hidup seks bebas adalah orang yang paling tidak berbahagia. Tapi, lihatlah. Apakah para pelacur itu berbahagia dengan kebahagiaannya? Saya yakin, tidak. Betapa banyak pelacur yang meregang nyawa diterjang penyakit kelamin. Betapa banyak pelacur yang hidup terlunta-lunta di hari tuanya karena telah mengukir kehinaan di jidatnya dengan perbuatan lacurnya. Justru kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika manusia mampu mengendalikan nafsu seksualnya. Karena sesungguhnya, nafsu seksual jika senantiasa dituruti, ia akan menyiksa manusia hingga manusia menjadi budak nafsu itu sendiri. Sebaliknya, jika nafsu seksual dikendalikan dan disalurkan sesuai dengan titah Tuhan, ia akan menjadi mosaik kebahagiaan yang menghiasi hidup manusia.
Baca selanjutnya..

Jumat, 26 September 2008

Islam dan Korupsi

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَ دِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. وَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلىَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَ عَلىَ اَلِهِ وَ صَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ: فَياَ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ باِلْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ.

Hadirin sidang Jumat yang mulia
Marilah kita senantiasa meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah. Karena keimanan dan ketakwaan kita bukanlah suatu hal yang tetap dan tidak bisa berubah. Iman dan takwa bisa mengalami perubahan, naik atau turun, bertambah atau berkurang. Karena itulah, kita pun harus senantiasa menjaga, memperbaharui, dan meningkatkan iman serta takwa kita. Apalagi di tengah zaman yang semakin menghalalkan segala cara, kita tidak pernah tahu, apakah besok kita masih tergolong orang yang beriman atau justru terjerumus ke dalam lubang kekafiran. Maka dari itu, hanya kepada Allah sajalah kita memohon, agar senantiasa memperoleh taufiq dan hidayah-Nya.

Sidang Jumat yang dimuliakan Allah
Salah satu upaya kita menjaga keimanan dan ketakwaan kita adalah dengan cara mencari harta yang halal. Dengan kata lain, harta yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya diperoleh dari cara-cara yang sesuai dengan ketentuan agama dan negara. Sebaliknya, Allah pun melarang kita menggunakan cara-cara batil (melanggar hukum) dalam memperoleh harta. Allah berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة: 188)
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta orang lain dengan cara yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kalian dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan cara licik, padahal kalian menyadari. (QS. al-Baqarah: 188)

Harta yang diperoleh dengan cara yang bersih dan halal, akan mendatangkan ketenteraman dan ketenangan meskipun jumlahnya sedikit. Apalagi jika harta yang bersih dan halal itu, disikapi dengan rasa syukur kepada Allah, Dzat yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rizki.

Sidang Jum’at, jama’ah Islamiyah yang dimuliakan Allah
Salah satu cara tidak halal dalam memperoleh harta adalah korupsi. Namun justeru sekarang korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang banyak terjadi. Jika pada pemerintahan beberapa waktu silam, korupsi hanya terjadi pada segelintir orang yang dekat dengan pusat kekuasaan negara, maka saat ini ia menjadi kejahatan yang terjadi nyaris di semua lembaga di negeri ini, mulai dari yang paling bawah di tingkat desa, hingga paling atas di tingkat pusat.

Meski banyak merugikan negara dan kemaslahatan umat, para pelaku korupsi di negeri ini justru banyak yang terlepas dari jeratan hukum. Pada ayat di atas, Allah sendiri telah mensinyalir adanya orang yang membawa persoalannya ke pengadilan, namun ia tidak bermaksud untuk mencari keadilan. Pengadilan itu justru ia manfaatkan guna membebaskan dirinya dari jeratan hukum dan membuatnya seolah berhak untuk mengambil harta yang bukan miliknya. Saat itulah, pengadilan pun sudah bisa dibeli. Sungguh rasa keadilan masyarakat seolah tercabik-cabik. Jika seorang pencuri ayam, bisa langsung ditangkap atau bahkan dihakimi massa, maka pencuri uang negara milyaran rupiah, bahkan ada yang sampai trilyun, bisa dengan mudah lepas, tanpa menjalani hukuman apapun! Dan juga yang sangat menyakitkan, terkadang para koruptor itu justru tetap menjadi pemimpin-pemimpin kita; tampil di tengah-tengah masyarakat seolah tidak merasa berdosa apapun.

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah
Kita sebagai umat Islam, bagaimanapun telah diajarkan oleh Nabi SAW untuk menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran; termasuk mencegah kemungkaran dalam bentuk korupsi. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ (وواه مسلم)
Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangan (kekuasaan)-nya. Jika ia tidak mampu (merubah dengan tangannya), maka rubahlah dengan lisannya. Jika ia juga tidak mampu (merubah dengan lisannya), maka rubahlah dengan hatinya. Dan itu merupakan selemah-lemahnya iman. (H.R. Muslim).

Kita harus mencegah kejahatan korupsi sesuai dengan kemampuan kita masing-masing sesuai dengan urut-urutan pencegahan yang diajarkan oleh Nabi di atas. Jika kita sebagai rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan dan jabatan apapun, maka paling tidak kita menolak kemungkaran itu di dalam hati. Namun itu adalah jalan terakhir jika dua cara pencegahan sebelumnya, dengan tangan dan lisan, tidak mampu kita lakukan. Penolakan di dalam hati itu merupakan wujud selemah-lemahnya iman.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita tidak bisa bersikap masa bodoh dengan kemungkaran-kemungkaran tersebut. Kita tidak bisa berlindung di balik alasan: “Masalah negara sudah yang memikirkan. Kita sebagai rakyat kecil tidak perlu pusing-pusing memikirkannya.” Tidak! Kita tidak boleh beralasan seperti itu, karena kita semua sama-sama ikut bertanggung jawab terhadap baik buruknya masyarakat dan negara. Jika kita membiarkan saja kemungkaran-kemungkaran itu terjadi di depan mata kita, maka berarti kita membiarkan masyarakat kita menjadi rusak. Jika masyarakat telah rusak, maka azab Allah tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang melakukan kejahatan saja, tapi juga orang-orang baik yang tidak melakukan apa-apa. Sebagaimana jika kita membiarkan para pencuri menebangi kayu-kayu jati di Alas Cikamurang sehingga hutan kita menjadi gundul, maka banjir yang akan datang tidak hanya menimpa para pencuri itu, tapi kita semua akan merasakan kerugiannya, termasuk anak-anak, ternak, sawah, dan harta benda lain yang kita miliki. Karena itulah, Allah berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الأنفال:25)
Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Qs. Al-Anfal: 25).

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah
Sebenarnya masih ada cara yang bisa kita lakukan sebagai rakyat kecil dalam menghadapi kemungkaran-kemungkaran tersebut. Masih ada cara minimal yang bisa dilakukan oleh umat Islam sebagai wujud pencegahan kemungkaran. Misalnya, cara itu adalah dengan tidak memilih dan mengangkat para pemimpin yang dicurigai terlibat korupsi. Bagaimana mungkin kita berharap masyarakat menjadi lebih baik, adil, dan sejahtera jika pemimpin yang kita pilih adalah orang yang tidak jujur dan tidak bisa mengemban amanah?! Sungguh sangat naif jika kita memilih orang-orang semacam itu sebagai pemimpin.

Di samping itu, jangan kita mau menerima sumbangan dalam bentuk apapun dari para pejabat yang diduga kuat banyak melakukan tindak korupsi. Kita baru menerima sumbangan itu jika kita mengetahui persis bahwa sumbangan tersebut merupakan hartanya pribadi yang diperoleh secara halal dan tidak melanggar hukum. Atau kita bisa menerima sumbangan tersebut jika kita mengetahui persis bahwa sumbangan itu memang diperuntukkan dan dianggarkan secara resmi untuk diri kita atau lembaga kita.

Jika kita mau menerima sumbangan dari seorang pejabat yang diduga kuat banyak melakukan tindak korupsi, misalnya untuk lembaga pendidikan atau keagamaan yang kita kelola, maka sadar atau tidak kita berarti telah menggunakan uang haram, atau paling tidak syubhat. Kemudian, jika sesuatu dibiayai dengan uang haram, maka ia tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, jika kita menerima sumbangan dari para pejabat korup itu, maka tanpa sadar kita seolah menghalalkan tindakan korupsi yang ia lakukan. Dengan kata lain, secara tidak langsung kita menghalalkan sesuatu yang sebenarnya haram. Dalam kaitan tersebut, Nabi menjelaskan:
َالْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِن الإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ (رواه البخاري)
Halal itu jelas dan haram itu juga jelas. Sedang yang berada di antara keduanya adalah hal-hal yang subhat (samar). Maka barangsiapa meninggalkan hal-hal yang subhat, maka berarti ia telah meninggalkan sesuatu yang telah jelas haram. Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang diduga termasuk dosa, maka berarti ia nyaris tergelincir melakukan sesuatu yang jelas haram. Dan kemaksiatan adalah larangan Allah. Barangsiapa yang mendekati larangan tersebut, berarti ia nyaris tergelincir melakukan larangan tersebut. (H.R. Bukhari).

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah
Sekali lagi kita marilah kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Salah satunya adalah dengan cara mencari harta yang halal; lantas mensyukuri dan mengelolanya dengan sebaik mungkin. Di antara cara mensyukuri anugerah harta yang diberikan oleh Allah tersebut adalah dengan cara mengeluarkan zakat atau sedekah. Harta yang kita miliki akan diberkahi Allah jika ia bisa bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Karena itulah, mumpung mesjid kita ini sedang melaksanakan proyek pembangunan madrasah, maka marilah kita berlomba-lomba menyumbangkan sebagian harta kita untuk kegiatan tersebut.

Harta yang disumbangkan tersebut kelak akan menjadi amal jariah yang akan menolong kita di akhirat nanti. Harta yang kita sumbangkan dengan tulus ikhlas merupakan ungkapan terima kasih kita kepada Allah yang telah memberikannya kepada kita. Jika kita mengurangi jumlah harta kita, karena menyumbangkannya di jalan Allah, maka tanpa kita sadar, sesungguhnya Allah akan menambah jumlah harta kita melebihi dari jumlah yang telah kita sumbangkan. Hal itu Allah tegaskan dalam firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم ٌ(البقرة: 261)
Perumpamaan orang-orang yang menyumbangkan hartanya di jalan Allah adalah laksana menanam sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir berisi seratus biji. Begitulah, Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapapun yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 261).

باَرَكَ اللهُ لِي وَ لَكُمْ بِاْلأَياَتِ وَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَ تَقَبَّلَ مِنيِّ وَ مِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَ قُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَ ارْحَمْ وَ أَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى هَدَانَا لِهَذَا وَماَ كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْ لاَ اَنْ هَدَاناَ اللهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله وحده لا شريك له. وَ أَشْهَد أن محمدا عبده و رسوله لا نيي بعده. قال الله تَعَالىَ فِي كِتَابِه الكريم: ان الله و ملائكته يصلون على النبي. يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه و سلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد و على ال سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهيم و على ال إبراهيم. اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمنين و المؤمنات الاحياء منهم و الاموات. ربنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقونا بِاْلإِيْمَانِ و لا تجعل فى قلوبنا غلا للذين امنوا ربنا إنك رؤف رحيم. رب اغفر لنا ولوالدينا ولمن دخل بيوتنا مؤمنين وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظالمين إلا تبارا. اللهم أصلح لنا ديننا الذى هو عصمة أمرنا و أصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا و أصلح لنا آخرتنا التي فيها معادنا و اجعل الحياة زيادة لنا في كل خير و اجعل الموت راحة لنا من كل شر. ربنا اتنا فى الدنيا حسنة و فى الأخرة حسنة و قنا عذاب النار. سبحانك ربك رب العزة عما يصفون و سلام على المرسلين و الحمد لله رب العالمين. Baca selanjutnya..

Dendam itu Belum Berkesudahan

Oleh: Syafi'i Ma'arif
Dimuat di Republika: 19-08-2008

Pada saat kita di Indonesia sedang gencar-gencarnya mengukuhkan tali
persaudaraan lintas iman, dan sampai batas-batas yang jauh telah
memberi hasil yang sangat positif, masih ada saja pihak di belahan
bumi sana yang berupaya membuyarkannya, sekalipun tidak secara
langsung. Kali ini kita soroti Patrick Sookhdeo, seorang tokoh
penginjil melalui artikel yang berjudul '' The Myth of a Moderate
Islam'' dalam majalah Spectator (London, 30 Juli 2005), dan telah
dibantah oleh penulis Vincenzo Oliveti yang dimuat dalam majalah
Islamica dengan judul '' The Myth of 'the Myth of Moderate Islam',''
beberapa waktu yang lalu. Di mata Sookhdeo, apa yang dikenal dengan
Islam moderat dan berwajah ramah hanyalah sebuah mitos, tidak ada di
dunia nyata. Wajah Islam yang hakiki, katanya, adalah kebengisan,
kegarangan, dan kekerasan, seperti yang ditampilkan oleh segelintir
kelompok radikal, militan, bahkan teroris. Tuduhan semacam inilah yang
dikuliti Oliveti melalui tulisannya di atas.
Dalam artikel yang cukup panjang dengan data sejarah yang akurat,
Oliveti menilai Sookhdeo telah dengan sengaja memutarbalikkan fakta
yang sebenarnya, demi dendamnya kepada Islam yang belum juga
berkesudahan. Memang, sangat menyakitkan tuduhan penginjil ini yang
menyimpulkan bahwa terorisme adalah wajah Islam yang sebenarnya.
Artinya, menurut penginjil ini, mayoritas umat Islam adalah pendukung
teror. Bahwa ada sekelompok kecil umat yang terlibat dalam aksi
kekerasan dan teror memang tidak perlu ditutupi, tetapi membuat
generalisasi adalah sebuah dusta.
Agar tidak mengada-ada, Oliveti menurunkan angka-angka ini: Kurang
dari 5 persen umat Islam yang dapat dimasukkan dalam kategori
fundamentalis; dari yang 5 persen ini, kurang dari 0,01 persen yang
punya kecenderungan untuk melakukan teror atau tindak kekerasan atas
nama agama. Dengan kata lain, paling banter hanyalah seorang dari
200.000 Muslim yang mungkin dapat dimasukkan sebagai teroris.
Selebihnya adalah manusia normal belaka yang cinta damai dan
antikekerasan. Tetapi, mengapa sejak Tragedi 11 September 2001, segala
tuduhan busuk tetap saja dilemparkan kepada Islam sampai detik ini,
sekalipun sudah semakin melemah?
Oliveti kemudian menelusuri data teologis dalam Kristen dan Islam
tentang praktik paksaan dalam agama. Tulis Oliveti: ''Tidak dijumpai
dalam sejarah Islam sebuah doktrin yang menyamai doktrin St Agustinus,
cognite intrare (dorong mereka masuk--artinya 'paksa mereka
pindah iman'). Justru dalam Alquran yang ada kebalikannya: 'Tidak ada
paksaan dalam agama (2: 256)'.'' Gagasan Agustinus yang menakutkan itu
bahwa semua orang harus dipaksa ''menyesuaikan diri'' kepada ''iman
Kristen yang benar'' selama berabad-abad telah menumpahkan darah yang
tidak ada taranya.
ungguh umat Kristen lebih menderita di bawah kuasa peradaban Kristen
daripada di bawah kekuasaan Romawi pra-Kristen atau di bawah kekuasaan
lain sepanjang sejarah. Jutaan dianiaya atau disembelih atas nama
agama Kristen selama periode-periode kebid'ahan Arian, Donatist, dan
Albigenesia. Belum lagi kita berbicara tentang bermacam inkuisisi,
atau Perang Salib, di kala tentara Eropa berkata, saat menyembelih
umat Kristen dan Arab Muslim: ''Bunuh mereka semua, Tuhan akan tahu
sendiri.''
Masa lampau yang gelap ini jangan lagi disegarkan dengan cara-cara
keji yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
saat semua pemeluk agama kini ditantang untuk menyelamatkan jenis
manusia dari harakiri perdaban modern. Penginjil Sookhdeo harus
menyadari bahwa menuduh pihak lain secara semena-mena sama saja dengan
mengkhianati Injil itu sendiri. Oliveti melanjutkan: ''Tidak perlu
dikatakan, semua pelanggaran di atas--dan sungguh semua pelanggaran
umat Kristen sepanjang abad--yang demikian itu sama sekali tidak ada
kaitannya dengan Yesus Kristus dan atau bahkan dengan Perjanjian Baru.
Sesungguhnya, tak seorang Muslim pun per definisi pernah atau akan
pernah menyalahkan semuanya ini atas pundak Yesus Kristus. Maka,
bagaimana ini berlaku sehingga Sookhdeo menyalahkan
pelanggaran- pelanggaran Muslim (sekalipun lebih kecil dibandingkan
pelanggaran Kristen) atas Alquran ...?''

Berapa banyak darah tertumpah pada waktu terjadi Gerakan Reformasi dan
Anti-Reformasi di Eropa? Menurut catatan Oliveti, tidak kurang dari
2/3 penduduk Kristen Eropa yang terbantai pada waktu itu. Itu belum
lagi dihitung perang-perang yang lain, pogrom (pembantaian
terorganisasi) , revolusi, dan genosida (pembunuhan secara teratur
terhadap sebuah etnis, suku bangsa), Perang Napoleon; perdagangan
budak Afrika yang menghabiskan nyawa sebesar 10 juta; berapa juta pula
yang musnah akibat penaklukan-penakluk an kolonial. Jangan Anda tanya
lagi berapa banyak penduduk asli Amerika yang dibantai oleh orang
Eropa, baik di Amerika Utara, Tengah, ataupun Selatan, angkanya
mencapai 20 juta selama tiga generasi.

Jika kita bergerak ke abad ke-20, angkanya semakin mengerikan.
Peradaban Barat telah mengubah peperangan ke kutub ekstrem. Perkiraan
konservatif yang mati di abad ke-20 lebih dari 250 juta. Dari jumlah
ini umat Islam hanya bertanggung jawab kurang dari 10 juta. Umat
Kristen atau mereka yang berlatar belakang Kristen telah membunuh
lebih dari 200 juta. Jumlah terbesar berasal dari Perang Dunia (PD) I
sejumlah 20 juta; setidak-tidaknya 90 persen dari angka ini dilakukan
oleh orang ''Kristen''. Angka yang lebih dahsyat lagi terjadi selama
PD II sebesar 90 juta, sekurang-kurangnya 50 persen dilakukan oleh
pihak ''Kristen''. Selebihnya terbunuh di Asia Timur.

Oliveti kemudian bertanya: ''Dengan sejarah yang serbasuram ini,
terlihat bahwa kita semua orang Eropa harus bertempur dengan fakta
bahwa Perdaban Islam dalam kenyataannya malah kurang brutal jika
disandingkan dengan Peradaban Kristen. Apakah Holocaust terhadap lebih
enam juta Yahudi yang terbunuh berlaku dengan latar belakang Peradaban
Muslim?''
Tetapi, Oliveti tidak menurunkan angka berapa pula yang terbunuh
akibat pertempuran dan konflik sesama Muslim, demi kekuasaan, dalam
berbagai periode sejarah, sebagai yang terbaca dalam ''Perspektif' '
saya dalam Gatra, 31 Juli-6 Agustus 2008, hlm 106. Tampaknya
darah lebih banyak tertumpah akibat konflik sesama Muslim dibandingkan
dengan antara Muslim dan non-Muslim. Tengok apa yang terjadi di Irak
dan Afghanistan, dan sampai batas-batas tertentu di Indonesia pada
waktu yang lalu, semuanya adalah pembunuhan oleh Muslim terhadap
Muslim, apa pun ideologi politik yang melatarbelakanginya .

Kembali kepada data terbaru Oliveti. Selama abad ke-20, kekuasaan
Barat atau Kristen bertanggung jawab atas kematian umat manusia
sekurang-kurangnya 20 kali lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan
Muslim. Di abad ini Barat telah membinasakan manusia dengan jumlah
raksasa, lebih dahsyat dari seluruh korban yang terjadi sepanjang
sejarah Islam. Ini berlangsung sampai detik ini. Ambil contoh
pembantaian 900 ribu rakyat Ruwanda tahun 1994, di mana penduduknya
lebih 90 persen Kristen; atau tengok pula genosida atas lebih dari 300
ribu Muslim plus pemerkosaan atas lebih 100 ribu wanita Muslim oleh
Serbia Kristen di Bosnia pada 1992-1995. Maka, secara statistik,
Peradaban Kristen adalah yang terbanyak menumpahkan darah dan yang
paling kejam dibandingkan dengan peradaban manapun sepanjang sejarah.

Lebih jauh Oliveti mengkritik penggunaan senjata nuklir yang
semestinya cukup alasan bagi Barat untuk merasa malu di depan umat
manusia di muka bumi. Amerika Serikat telah menciptakan senjata nuklir
dan telah pernah menggunakannya. Bangsa-bangsa Barat lainnya juga
berupaya memonopoli persenjataan yang bisa membawa kiamat itu.
Sekalipun Islam punya konsep tentang perang yang sah (seperti halnya
agama Kristen dan Budha), tidak pernah ada dalam kultur Islam (atau
dalam kultur manapun yang bertahan sampai sekarang) yang mengidolakan
semuanya seperti yang terdapat dalam kultur Barat.

Selanjutnya, manusia Barat menganggap dirinya suka damai, tetapi dalam
kenyataannya kelembutan dan keluhuran Perjanjian Baru, dan watak
cinta-damai demokrasi, jarang sekali tecermin dalam kultur rakyat umum
Barat. Yang berlaku dalam kultur itu, seperti terlihat dalam film-film
Hollywood, TV Barat, permainan video, musik populer, dan hiburan
sport--adalah untuk mengagungkan dan menanamkan kekerasan. Maka,
tidaklah mengherankan tingkat angka pembunuhan jauh lebih tinggi di
dunia Barat tinimbang di negeri-negeri Muslim. Mengapa seorang
Sookhdeo tidak mau becermin?
Komentar saya, terasa sekali kemarahan Oliveti terhadap seorang
penginjil yang tidak adil dalam membaca masa lampau Barat yang sarat
dengan pertumpahan darah. Tetapi, kemarahan serupa juga wajib kita
alamatkan kepada kelompok kecil Muslim yang senang membajak Tuhan,
demi darah Muslim dan non-Muslim Baca selanjutnya..

Rabu, 24 September 2008

Mengenal Diri


Pertanyaan tentang siapa diri kita; siapa aku; yang mana jati diri kita sesungguhnya adalah pertanyaan-pertanyaan klasik yang telah menyita perhatian banyak para filosof. Pernyataan tersebut adalah sesuatu yang penting untuk kita lontarkan. Hal itu karena menyangkut tentang eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bagaimana mungkin orang hidup bertahun-tahun tetapi tidak mengenal siapa dirinya sesungguhnya?

Dalam sebuah kalam hikmah terkenal --yang banyak disalahartikan sebagai hadis Nabi Muhammad—diungkapkan man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa rabbah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan. Dengan kata lain yang dibalik, siapa yang ingin mengenal Tuhan, maka kenalilah dirinya terlebih dahulu.

Lantas siapa diri kita sebenarnya. Jika “aku” adalah dikaitkan dengan jasad, tentu tidak tepat. Seorang Luna Maya, misalnya, bukanlah hanya terdiri wajahnya yang cantik. Meskipun wajahnya tiba-tiba tersiram air keras, dan membuat wajahnya jadi hancur berantakan, tetaplah ia dikatakan seorang manusia yang bernama Luna Maya, ia tidak berubah jadi seekor kambing. Jadi dengan demikian, jati diri seseorang tidaklah berkaitan erat dengan fisiknya.

Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan otaknya? Hal ini juga tampaknya tidak tepat. Einstein sekalipun otaknya yang cerdas itu diambil dari jasadnya yang sudah mati, ia tetaplah seorang manusia bernama Einsten. Ia tidak berubah menjadi robot.

Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan kedudukannya? Ah, hal itu juga tidak tepat. Soekarno tetaplah seorang manusia, meskipun kekuasaannya sebagai presiden “dirampas” oleh Soeharto dengan semana-mena melalui akal-akalan Supersemar. Meskipun Soekarno tidak lagi jadi presiden, ia tetaplah seorang manusia bernama Soekarno yang memiliki ciri khas tertentu.

Apakah jati diri manusia juga berdasarkan nama? Ah, tidak juga. Coba kita tanyakan pada Shakespeare. Ia jawab, “Apa arti sebuah nama?!” Meskipun, seorang Imam Samudera memiliki beberapa nama, misalnya, ia tetaplah merujuk kepada seseorang tertentu yang kita kenal sebagai seorang teroris Bom Bali I.

Lantas, gimana dong? Apakah manusia dikaitkan dengan nyawanya? Tampaknya ini juga kurang tepat. Seorang Nabi Muhammad meskipun nyawanya sudah tidak lagi menyatu dengan jasadnya, ia tetaplah seorang nabi yang dipuja oleh seluruh orang Islam di seantero jagad. Ia tetaplah merujuk kepada seseorang yang telah membuat sejarah besar di muka bumi yang dikemudikan dinobatkan oleh Michael H. Hart sebagai nomor satu di antara para tokoh yang pernah ada di dunia.

Apakah eksistensi manusia ditentukan pula oleh perbuatannya? Hidup adalah perbuatan, kata Sutrisno Bachir beriklan di berbagai media massa. Apa betul? Mari kita cek. Andaikan Sutrisno Bachir tidak melakukan sesuatu, misalkan ia tidak berkampanye, apakah lantas ia tidak menjadi seorang Sutrisno Bachir lagi? Tentu tidak kan. Ia tetaplah apa adanya, dengan atau tanpa berbuat sesuatu.

Mungkin, ini yang terakhir. Apakah manusia dengan hati nuraninya? Lho, hati nurani itu yang mana? Ini juga pertanyaan yang rumit. Hati nurani, menurutku pemahamanku yang ilmunya sejengkal, adalah berkaitan dengan sesuatu unsur dalam diri seseorang yang membuatnya bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Hati nurani adalah panduan ilahiah yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia. Karena itulah, Nabi Muhammad bersabda, “Ada sesuatu di dalam manusia yang jika ia baik, maka baiklah seluruh dirinya. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh dirinya. Sesuatu itu adalah hati nurani.” Nah hati nurani itulah yang harus kita pelihara dan jaga agar ia tetap terus menjadi panduan ilahiah yang senantiasa menerangi jalan hidup kita.

Ah, terus terang, aku juga masih bingung. Mari kita merenung lagi. Yang jelas, bagiku, manusia memiliki hati nurani, jasad, nyawa, nama, kedudukan tertentu, dan mampu melakukan perbuatan sendiri. Jadi manusia memang makhluk unik. Ia harus berbuat untuk kebaikan, dipandu oleh hati nuraninya. Perbuatan baik seorang manusia pasti akan membuatnya menjadi seseorang yang berharga di dunia dan akhirat. Perbuatan jahat akan membuatnya menjadi orang yang sengsara di dunia dan akhirat. Salah satu hadis Nabi yang sangat kupercayai hingga hari ini adalah, “Orang yang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Wallahu a’lam.

Baca selanjutnya..

Selasa, 23 September 2008

Irshad Manji

Seorang Irshad Manji dengan bangga menyatakan dirinya seorang lesbian. Sungguh suatu fenomena yang membuat diriku bertanya-tanya: ada apa gerangan dengan feminisme? Apakah feminisme lantas melahirkan para perempuan pemberontak? Para perempuan yang memberontak terhadap tatanan norma sosial dan agamanya? Para perempuan yang membuang jauh-jauhnya kodrat mereka sebagai perempuan yang melahirkan dan mengasuh anak?

Pilihan Irshad Manji untuk menjadi seorang lesbian adalah sebuah pilihan yang sungguh berani. Lucunya, ketika dikejar dengan landasan pilihannya tersebut di dalam Alquran, ia pun akhirnya tersudut dengan hanya menjawab “Tidak tahu: apakah yang dikutuk Tuhan adalah tindakan homoseksualitas kaum Luth ataukah tindakan kekerasan seksual.” Adalah absurd menyerahkan sebuah pilihan hidup kepada sebuah ketidaktahuan.

Jika hanya Tuhan dan nurani dirinya yang menjadi sandaran hidupnya, maka ini semakin sulit untuk dimengerti. Bagaimana mungkin bisa terjadi: menjadi seorang Islam yang beriman –sebagaimana yang diklaim oleh dirinya—sementara di sisi lain ia menolak berbagai ajaran dalam Islam yang mestinya ia imani. Bagaimana ia tahu tentang cara beriman kepada Tuhan dalam Islam jika ia tidak mempercayai Alquran dan hadis Nabi? Apakah nurani dirinya selalu berada dalam kebenaran? Bagaimana mengukur kebenaran nuraninya tersebut. Sungguh suatu yang sulit dimengerti.

Jika memang Irshad Manji dengan rendah hati menyatakan betapa sedikitnya ilmu manusia dengan ilmu Tuhan, mengapa ia juga tidak dengan rendah hati mengakui bahwa ilmu Tuhan tentu lebih luas dari dirinya sehingga Tuhan menyatakan tindakan homoseksualitas kaum Luth adalah sesuatu yang keji. Ketika Tuhan sudah menyatakan homoseksualitas sebagai sesuatu yang keji, mengapa Irshad justru dengan bangga menjalani kehidupan sebagai lesbian? Bukakah hal itu sama saja dengan menentang Tuhan yang dipercayainya.

Jika betul bahwa hanya Tuhan yang dipercayainya, maka mestinya ia pun mempercayai apa yang dikatakan oleh Tuhan. Jika Tuhan telah menyatakan bahwa perbuatan homoseksual adalah tindakan yang keji, maka mengapa ia tidak dengan rendah hati mempercayai perkataan Tuhan tersebut?

Mungkin persoalannya, Irshad tidak betul-betul meyakini apakah betul bahwa Alquran adalah seluruhnya perkataan Tuhan? Jika memang Irshad tidak meyakini Alquran sebagai perkataan Tuhan, lantas dari mana lagi ia mempercayai kebenaran tentang Tuhan? Dari nuraninya? Sungguh sangat riskan jika kepercayaan terhadap Tuhan hanya dipasrahkan kepada nurani seorang manusia yang bisa salah.

Tampaknya, Irshad sendiri tidak konsisten dengan pilihannya untuk mempercayai hanya dua entitas: Tuhan dan nuraninya. Bagaimana ia mengenal Tuhan sesuai dengan ajaran Islam yang ia anut jika Alquran dan hadis tidak sepenuhnya ia percayai?

Baca selanjutnya..

Pandangan Para Ulama tentang Taqnin al-Ahkam

A. Pendahuluan

Wacana taqnin al-ahkam dalam hukum Islam merupakan salah satu persoalan yang memicu kontroversi luas di kalangan umat Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula kubu yang menentangnya, bahkan dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin al-ahkam termasuk wacana yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin hukum-hukum Islam juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk Orde Reformasi seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai daerah. Banyak perda-perda syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling banyak menyita perhatian, tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan undang-undang (qanun) Syariat tentang beberapa hal tertentu.

Fenomena perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal juga dengan gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda, terutama perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap domain privat masyarakat.

B. Pengertian Taqnin

Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1]

Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]

C. Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam

Menurut hemat penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.

Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[3] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[4]

Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[5]

Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[6]

Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[7]

D. Dasar Pemikiran Taqnin di Kalangan Ulama Klasik

Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.

Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi.[8] Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[9]

Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad: 26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[10] Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.”[11]

Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.[12]

Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat Alquran: Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[13].

E. Para Pendukung Taqnin dan Argumentasi Mereka

Mayoritas para ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14] Selain mereka, yang juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah Musthafa az-Zarqa,[15] Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.[16]

Di antara dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Surah an-Nisa: 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.... (النساء: 59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.....(QS. an-Nisa: 59).

Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut, jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.[17]

2. Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]

3. Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.

4. Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.

5. Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.

Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[19]

F. Para Penolak Taqnin dan Argumentasi Mereka

Mereka yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,[20] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[21] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam,[22] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[23] Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.

1. Allah telah memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan adil (al-qisth) dalam firman-Nya:

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)

Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah: 42).

Kata al-qisth berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.

2. Dalam menetapkan hukum, seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan prinsip tauhid, yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu karena sang hakim yang menaati undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum daripada pendapat Rasulullah yang mas’hum. Padahal Allah juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Hujurat: 1).

3. Sabda Rasulullah SAW:

Hakim itu ada tiga macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Dua, hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim ini juga masuk neraka.”[24]

Hadis di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini. Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak demikian.

4. Mengharuskan para hakim untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di zaman Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang salaf yang saleh. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti itu terjadi di zaman Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur mengusulkan kepada Imam Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan demikian, wacana taqnin adalah sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.

5. Undang-undang hukum positif yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai negara, ternyata sering kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Keputusan-keputusan pengadilan sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.

6. Keharusan untuk mengadakan taqnin akan justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan keputusan.

7. Perselisihan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah ar-Rasyidin dan para salaf saleh. Bahkan terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimana pun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Bagaimana pun, pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.

8. Ketika melongok kepada berbagai kitab fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka, tetap mereka memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat, bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[25]

G. Penutup

Dari uraian tentang pandangan para ulama yang mendukung maupun menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari alasan-alasan yang dikemukakan para ulama Arab Saudi yang menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa mereka memang cenderung dipengaruhi oleh prinsip Wahabi yang sangat menekankan untuk mengikuti (ittiba’) pada tuntunan Rasulullah SAW. Upaya taqnin al-ahkam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan oleh salafus salih.

Di samping itu, prinsip tauhid yang berlebihan juga tampak diyakini sebagian oleh ulama Arab Saudi dalam melihat taqnin al-ahkam dan kewajiban orang untuk mengikutinya. Bagi mereka, mewajibkan orang untuk hanya menaati undang-undang yang telah disahkan penguasa, berarti sesuatu sikap yang lebih mengutamakan hasil pemikiran manusia biasa yang tidak ma’shum. Hal itu bisa merusak prinsip tauhid karena Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada yang lain.

Alasan agar tidak mempersempit pilihan masyarakat sehingga mereka bisa lebih leluasa dan mempunyai banyak pilihan, merupakan salah satu alasan yang dikemukakan untuk menolak taqnin. Alasan tersebut memang bagus dan sejalan pula dengan prinsip pluralisme yang saat ini sering digembor-gemborkan kalangan Islam Liberal. Namun, hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang atau pemerintah bukanlah lantas dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Pemerintah memang berkewajiban untuk menetapkan aturan dan perundang-undangan. Sedangkan rakyat pun wajib menaati dan mengikutinya. Pada konteks bernegara dalam Islam, ketaatan kepada undang-undang atau peraturan tersebut selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Di sisi lain, harus pula diperhatikan bahwa taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain, ketika hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia pun juga bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa. Hal ini tentu saja jadi mengurangi kewibawaan hukum Islam. Keberadaan sebuah undang-undang sangat tergantung oleh kebijakan pemerintah dan para pihak berkuasa. Sebagai contoh kasus di Indonesia, bisa kita lihat bagaimana sejarah ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Banyak penentangan, baik di kalangan orang Islam sendiri maupun non Islam, yang terjadi baik sebelum maupun sesudah undang-undang itu ditetapkan dan disahkan.

Karena resiko seperti itulah, maka taqnin al-ahkam harus betul-betul melibatkan banyak pihak yang terkait. Tata cara pembentukan undang-undang (legal drafting) juga harus betul-betul diperhatikan. Dengan demikian, ketika hukum-hukum Islam itu sudah menjadi undang-undang (qanun), maka resistensi terhadapnya bisa ditekan seminimal mungkin karena untuk menafikan sama sekali resistensi, tampaknya sesuatu yang mustahil. Setiap kebijakan pasti saja menuai pro dan kontra, sebaik apapun kebijakan itu. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Dar Alam al-Kutub, 1412 H.

Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, Dar al-Fadhilah, 1426 H.

Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H.

Adz-Dzahabi, Siar A’lam an-Nubala, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.

Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.

An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Fikr.

Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.

Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.

Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, Dar Ihya at-Turats al-Arabi.

Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.

Ibrahim Anis, et. al. Al-Mu’jam al-Wasith

Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H.

Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Dar al-Qalam, 1418 H.

Swiss al-Mahamid, Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, Jam’iyyah Ummal al-Mathabi’, 1422 H.



[1] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.

[2] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.

[3] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.

[4] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha fi al-Islam, hal. 115.

[5] Siar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.

[6] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.

[7] Kitab at-Taqnin baina at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 15.

[8] Lihat, Mawahib al-Jalil, juz 8, hal. 78; al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, juz 20, hal. 128; al-Mughni, juz 14, hal. 91; Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.

[9] Majmu al-Fatawa, juz 35, hal. 357, 360, 372, dan 373.

[10] Al-Mughni, juz 14, hal. 91; al-Majmu’, juz 20, hal.128.

[11] Al-Fatawa, juz 30, hal. 79.

[12] Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.

[13] Majmu’ al-Fatawa, juz 35, hal. 361.

[14] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 260 dan seterusnya.

[15] Mushthafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 230-231.

[16] Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, hal. 438.

[17] Ibid., hal. 440.

[18] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 269.

[19] Ibid., juz 3, hal.266.

[20] Fiqh an-Nawazil, juz 1, hal. 1 dan seterusnya.

[21] Lihat pandangan beliau dalam Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.

[22] Lihat, al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.

[23] Lihat, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 31-32.

[24] Hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak.

[25] Lihat pandangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Harian al-Jazirah, loc. cit.

Baca selanjutnya..