Rabu, 08 Oktober 2008

Membela RUU Pornografi

Sungguh menarik untuk mencermati kontroversi Rancangan Undang-Undang Pornografi. Kita bisa melihat betapa masyarakat terbelah menjadi kubu yang pro dan kontra. Dari kedua kubu tersebut, kita melihat unsur masyarakat mana saja yang mendukung dan menolak. Kita bisa melihat bahwa kubu yang pro mayoritas terdiri dari organisasi-organisasi sosial dan politik yang berbau Islam, seperti NU, MUI, Muhammadiyah, dan lain-lain. Dengan kata lain, orang-orang Islam yang merindukan tegaknya moralitas yang menjunjung tinggi kesopanan dan tata susila, mendukung RUU tersebut. Sedangkan kubu kontra adalah organisasi sosial dan politik yang sekuler dan non muslim, seperti PDS, PDIP, LBH Apik, Islam Liberal, dan lain-lain. Bisa dikatakan pula, kubu yang kontra adalah mereka yang tidak menyukai adanya undang-undang yang mengandung unsur-unsur hukum Islam serta tidak menyukai kebebasan berekspresi a la Barat diatur sedemikian rupa oleh undang-undang.

Mengancam disintegrasi bangsa?
Alasan tersebut merupakan alasan yang sangat dibuat-buat. Mari kita lihat dengan jernih dari RUU Pornografi tersebut. Bagi saya, tidak ada satu pun pasal atau ayat yang berpotensi untuk menimbulkan disintegrasi bangsa. Sungguh tidak masuk akal mengaitkan persoalan pelarangan pornografi dengan disintegrasi. Tidak nyambung! Dan jika penolakan RUU Pornografi disertai dengan ancaman untuk memisahkan diri dari kesatuan RI, maka hal itu sudah masuk wilayah subversi. Jika sudah masuk wilayah subversi, maka para pelakunya tentu bisa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Ancaman tersebut menunjukkan betapa para penolak itu masih kekanak-kanakan dan belum dewasa dalam bernegara.

Kriminilasasi perempuan?
Perempuan sebagaimana juga lelaki bukanlah pelaku kriminal selama dia tidak melakukan tindakan kriminal. Lantas di mana letak kriminalisasinya? Jika seseorang perempuan maupun lelaki, melakukan suatu tindakan yang termasuk kategori kriminal, misalnya, melakukan tarian telanjang di pasar, maka adalah masuk akal jika ia dikenai hukuman. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah tindakannya, bukan diri atau tubuhnya.
Ketika undang-undang mengatur agar seorang perempuan tidak boleh memperlihatkan di ruang publik bagian-bagian tubuhnya yang vital, maka bagiku hal itu bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap perempuan. Tetapi justru undang-undang tersebut mengatur agar para perempuan, termasuk juga lelaki, menghormati dirinya dan tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Larangan tersebut justru agar para perempuan menyadari bahwa betapapun tubuh seseorang, laki-laki atau perempuan, tidak selamanya mutlak milik dirinya yang bisa diperlakukan seenaknya. Jika saya memiliki pisau, maka tidak berarti saya dengan bebas menggunakannya seenak saya sendiri. Saya tentu tidak boleh menggunakannya untuk membunuh seseorang. Demikian pula dengan halnya dengan tubuh seseorang.
Pelarangan terhadap eksploitasi tubuh justru adalah sebuah upaya penghormatan terhadap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Adalah tindakan yang sangat tidak menghargai keberadaan sebagai manusia, jika seseorang bisa dengan bebas mempertontonkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun di muka publik. Apa bedanya manusia dengan seekor kambing yang tidak berpakaian di tanah lapang jika manusia juga boleh bertelanjang ria di ruang publik?!

Diskriminasi perempuan?
Menganggap bahwa payudara perempuan adalah lebih merangsang daripada payudara laki-laki bukanlah berarti sebuah diskriminasi terhadap perempuan. Namun, hal itu adalah sebuah pengakuan yang jujur bahwa tubuh perempuan memang berbeda dengan tubuh laki-laki. Tidak hanya bagi laki-laki yang berpikiran normal, bahkan bagi perempuan pun, penampilan seorang perempuan yang mempertontonkan payudaranya di muka umum bisa menimbulkan rasa risih dan rangsangan. Dengan demikian, tudingan diskriminasi terhadap perempuan adalah sebuah tudingan yang mengada-ada. Mungkin tudingan itu sebenarnya hanya pantas dikeluarkan oleh orang-orang yang menganut paham nudisme.

Pengekangan kebebasan berekspresi?
Kebebasan berekspresi tidak lama sama dengan kebebasan untuk mengekspresikan ketelanjangan dan pornografi. Kebebasan berekspresi tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. Betapapun, masyarakat memerlukan aturan atau undang-undang yang mengatur kebebasan anggota masyarakat. Hal itu karena jika kebebasan tidak diatur, maka akan timbul kekacauan di tengah masyarakat. Jika kran kebebasan dibuka seluas-luasnya, maka atas nama kebebasan berekspresi orang bisa mengadakan pertunjukan tari telanjang di lapangan terbuka, misalnya. Mungkin ada yang bertanya: di mana letak kekacauannya? Kekacauan tidak selalu berbentuk fisik. Hancurnya norma-norma kesusilaan dan rasa malu di tengah masyarakat adalah salah satu bentuk kekacauan yang terjadi jika pornografi dibiarkan bebas tanpa batas atas nama kebebasan berekspresi.

Mengatur Distribusi Materi Pornografi?
Mengatur materi yang mengandung pornografi bukanlah solusi yang tepat untuk menanggulangi dampak negatif pornografi. Kita bisa belajar dari kasus Amerika. Di sana materi pornografi dibatasi sedemikian rupa. Majalah porno seperti Playboy dan Penthouse tidak dijual bebas di setiap toko. Di samping itu, majalah itu pun tidak ditampilkan secara terbuka di toko yang menjualnya. Hanya orang-orang yang betul dewasa yang boleh membelinya. Film juga diberi label X, XX, XXX untuk menunjukkan tingkat pornografinya. Orang yang di bawah umur tidak boleh menonton film-film yang telah diberi label X.
Namun apa yang terjadi dengan Amerika setelah terjadi pengaturan dan pembatasan materi pornografi? Berdasarkan laporan, di sana justru pemerkosaan justru terjadi hampir setiap menit. Pelecehan dan kekerasan seksual justru bertengger di tingkat yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Nah, mestinya hal itu menyadarkan kita semua bahwa mengatur distribusi materi pornografi tidaklah menjadi jaminan bahwa pornografi tidak menimbulkan ekses negatif.
Mengatur bahwa materi pornografi boleh diakses oleh orang dewasa adalah bukanlah solusi yang tepat. Betapapun, orang dewasa pun tidak bisa dijamin bahwa mereka tidak akan melakukan kekerasan seksual setelah mereka menikmati materi pornografi, baik berupa media cetak maupun elektronik. Sebagaimana yang juga terjadi di Indonesia, di tayangan-tayangan kriminalitas seperti Buser dan Patroli kita sering melihat kasus-kasus di mana orang-orang tua, bahkan kakek-kakek, yang justru melakukan pemerkosaan setelah mereka menonton VCD porno.
Karena itulah, pencegahan dampak negatif pornografi mestinya dengan melarang total distribusi materi-materi yang mengandung pornografi. Kalaupun toh ada pengecualian, hal itu sebagaimana yang telah diatur dalam RUU Anti Pornografi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan kesenian, seperti budaya koteka di Papua dan pariwisata pantai di Bali.

Campur Tangan Negara terhadap Persoalan Privat?
Negara tentu saja tidak berhak mencampuri urusan privat warga negaranya. Karena jika negara berhak mengatur urusan privat warga negaranya, maka hal itu menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Kebebasan masyarakat akan sirna. Namun di mana letak ukuran urusan privat? Setiap orang yang bertelanjang dan berhubungan intim di kamarnya sendiri bersama pasangannya yang sah, tentu negara dan masyarakat tidak berhak untuk mencampuri atau melarangnya. Seseorang bisa membuat film tentang hubungan intimnya dengan pasangannya sendiri jika hal itu untuk konsumsi dirinya sendiri. Namun jika film itu sudah dipublikasikan, maka hal itu sudah masuk wilayah pidana. Hal itu bukanlah persoalan privat yang tidak bisa dimasuki oleh aparat negara.
Setiap perempuan juga berhak untuk berpakaian sesuai dengan yang dia inginkan. Namun ketika dia telah masuk sebuah institusi yang mengatur pakaian seragam tertentu, maka ia pun tidak bisa seenaknya berpakaian. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, masuk ke ranah publik, maka ia tidak lagi bebas untuk berpakaian sebagaimana yang dia inginkan. Namun jika ia berada di rumahnya sendiri, orang mau bertelanjang setiap hari pun, tidak akan ada polisi yang akan menangkapnya. Sebaliknya, ketika seorang perempuan jalan-jalan di pasar dengan membiarkan payudaranya melambai-lambai seperti nyanyian nyiur di pantai, tentu saja orang-orang akan menganggapnya gila. Aparat hukum berhak menangkapnya karena menimbulkan keresahan dan melanggar tata susila.

Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia?
Hak asasi yang mana yang dilanggar? RUU Pornografi tidaklah memberangus hak asasi seseorang. Yang diatur oleh rancangan undang-undang itu adalah bahwa tindakan seseorang yang mengandung unsur-unsur pornografi. Setiap orang berhak menggunakan hak asasinya selama tidak menimbulkan keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat. Bagi saya, tidaklah dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia, jika negara melarang orang-orang untuk melakukan pertunjukan erotis yang mengeksploitasi seks. Hal itu karena perbuatan tersebut memang bisa menimbulkan rusaknya norma-norma dan tata susila di tengah masyarakat. Pertunjukan tari erotis (striptease) yang dilarang oleh undang-undang justru hendak menegaskan kehormatan perempuan. Betapapun, perempuan tidak boleh dieksploitasi oleh distribusi seks dan dijadikan hanya sebagai komoditas layaknya barang dagangan. Sungguh, adalah suatu pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan jika terjadi eksploitasi perempuan oleh industri seks dalam bentuk pertunjukan striptease, pemotretan model bugil, dan pembuatan film porno.

Pornografi Bukanlah Soal Moralitas Semata
Adalah naif jika pornografi hanya dianggap persoalan moralitas semata. Pornografi lebih merupakan kejahatan yang harus diatur dalam sebuah undang-undang. Adanya orang yang memerkosa setelah ia menonton VCD porno yang marak dijual di pinggir-pinggir jalan, bukanlah semata persoalan moralitas bahwa si pelaku adalah orang yang bermoral bejat. Pencegahan terjadinya dampak negatif dari pornografi tidak bisa diserahkan kepada pendidikan moral semata yang dilakukan oleh pihak keluarga.
RUU Pornografi tidaklah berpretensi untuk memperbaiki moral bangsa secara keseluruhan. Undang-undang tetaplah memiliki sesuai dengan fungsinya sebagai undang-undang. Persoalan bangsa tetap menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Memang diakui, dengan UU tersebut bukan berarti semua persoalan bangsa akan selesai.
Betapapun, persoalan korupsi, gizi buruk, busung lapar, pembalakan liar, perlindungan TKW, dan lain-lain, tetaplah persoalan bangsa yang juga diatasi. Tapi bukan berarti banyaknya persoalan itu menghilangkan urgensi masalah pornografi sehingga harus dibuat undang-undang. Ingat, Indonesia adalah surga pornografi kedua setelah Rusia. Hanya sekedar mengalihkan persoalan, dan bukannya memecahkan persoalan jika mempertanyakan mengapa negara harus repot-repot mengatur cara berpakaian seorang perempuan, seperti persoalan-persoalan lain seperti di atas masih banyak terjadi.
Karena itu pula, adalah logika berpikir yang sesat, jika mengatakan bahwa RUU APP harus ditolak, tapi di sisi lain juga menolak pornografi. Jika memang menolak pornografi, mestinya mendukung undang-undang yang berusaha memberantas pornografi tersebut. Kalaupun RUU Pornografi sekarang dianggap masih ada kelemahan, maka yang harus dilakukan adalah memperbaikinya, bukan justru menolaknya mentah-mentah. Adanya berbagai kelemahan, bukan berarti lantas harus menghilangkan substansi regulasinya.
Adalah aneh mengatakan bahwa kita tidak perlu adanya RUU APP karena undang-undang yang ada sudah mencukupi. Justru karena undang-undang yang ada tidak memadai, maka RUU Pornogarafi tersebut disusun. Selama ini definisi pornografi belum diungkapkan dengan jelas dalam undang-undang yang sudah ada, karena itulah RUU APP disusun dan dibuat definisi pornografi. Kalaupun toh definisi itu masih belum mencukupi, tentu bisa dirumuskan kembali, bukan dengan menolak mentah-mentah RUU APP. Karena penolakan itu berarti kita set back.
RUU Pornografi justru berusaha untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Tindakan mengeksploitasi bagian-bagian tubuh yang vital --yang dianggap tindakan pidana oleh RUU tersebut sehingga harus dihukum bagi orang yang melakukannya, laki-laki maupun perempuan,-- justru merupakan tindakan yang merendahkan martabat perempuan menjadi hanya sekedar komoditas dalam kancah kapitalisme.
Penanggulangan pornografi tidak bisa hanya dilakukan oleh masyarakat sendiri secara kultural. Pornografi telah menjadi kejahatan yang begitu dahsyat. Kita tidak bisa hanya berharap kepada orang tua masing-masing agar melindungi anaknya dari serbuan pornografi yang begitu meruyak.
Pemahaman orang yang berbeda terhadap obyek yang dianggap merangsang hasrat seksual, bukanlah berarti kita menganggap bahwa pornografi tidak bisa diatur dan dibuat undang-undangnya. Itu adalah logika berpikir yang meloncat. Meski berbeda-beda, masyarakat tetap membutuhkan kepastian hukum mana yang merangsang mana yang tidak.
Menentang RUU Pornografi dengan beralasan adanya kekhawatiran hilangnya budaya di Papua adalah sebuah alasan yang sulit dimengerti. Kita seolah hendak membiarkan saudara kita di Papua terus berada dalam keterbelakangan dan budaya primitif tak ubahnya di zaman batu. Betapa tidak kita seolah tidak boleh mengubah mereka yang masih banyak hanya mengenakan koteka, bertelanjang dada, menutup alat vital sekedarnya.
Menentang RUU Pornografi dengan menampilkan pertunjukan erotis di jalan-jalan adalah tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab. Hal ini justru menunjukkan bahwa para penentang itu memang hendak membela kebebasan yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dengan moralitas dan tata krama, dan tidak peduli akibat perbuatan mereka terhadap anak-anak yang menonton pertunjukan mereka.

Posting Komentar