Minggu, 04 Januari 2009
Balada Kawin Kontrak 1
Sesaat kemudian, perempuan itu memasuki rumahnya yang megah dibandingkan rumah-rumah sekitarnya. Terletak tidak jauh dari bibir kali, rumah itu memang menjadi santapan banjir jika tanggul yang menahan kali jebol. Ya, seperti yang terjadi di bulan yang lalu di desaku ini. Dengan cat berwarna pink, rumah itu tampil mencolok di antara rerimbunan pohon yang masih ada di sisi kiri kanan.
"Sudah lima tahun lho, Pak, dia melakukan kawin kontrak," ujar narasumberku mengawali pembicaraan.
"Wah, lama juga, ya," kataku menimpali.
Cerita pun meluncur deras dari narasumberku yang juga bertetangga persis di depan rumah sang primadona "Arab" itu. Perempuan itu ternyata sebelumnya sudah pernah bersuami secara resmi, bahkan hingga memiliki seorang anak perempuan. Ya, perempuan kecil yang berlari-lari kecil di belakang ibunya yang kulihat barusan.
Tuntutan ekonomi memang terkadang membuat kalap mata banyak orang. Si perempuan itu, sebutlah namanya, Inem, memang diterjang badai kemiskinan. Sekitar tujuh tahun silam, sebelum memutuskan pergi menjadi TKW di Arab Saudi, Inem adalah seorang anak yatim. Ayahnya meninggal dunia, sedangkan sang ibu kawin lagi dengan lelaki lain. Ia kemudian kawin dengan seorang lelaki sekampung. Demi memperbaiki ekonomi keluarga dan memperbaiki rumahnya yang nyaris roboh, Inem pun meninggalkan sang suami dan anak kecilnya yang masih bayi. Ia pergi ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Ternyata menjadi TKW merupakan awal Inem terjerembab dalam cinta terlarang dengan sang majikan dan si anak majikan sekaligus. Hebat juga ya? Anak dan Bapak, yang orang Arab itu, berebut cinta sang pembantu dari Indonesia. Kucing-kucingan pun terjadi. Sang anak majikan bercinta dengan si pembantu saat si ayah pergi. Begitu pula sebaliknya.
Tapi, kucing-kucingan itu tak terjadi lama. Tampaknya cinta si anak majikan kepada sang pembantu jauh lebih besar daripada cinta sang majikan sendiri. Apalagi si pembantu tentu lebih suka brondong tajir daripada sama sang majikan yang sudah tua bangka. Akhirnya, setelah menyusun skenario sedemikian rupa, sang pembantu disuruh pulang ke Indonesia oleh si anak majikan.
Kepulangan sang pembantu juga membawa segerobak janji dari si anak majikan. Ia akan dikirimi uang setiap bulan jika sudah sampai di Indonesia. Dan ternyata memang benar. Kiriman demi kiriman datang ke kocek si Inem. Ia pun sedikit demi sedikit mampu memperbaiki ekonomi rumahnya. Rumah dibangun, perabotan rumah tangga dilengkapi, dan motor baru pun nongkrong di garasi.
"Kesuksesan" si Inem tak urung tercium oleh si paman yang mata duitan dan memiliki naluri bisnis tajam. Apalagi sang paman juga sudah mendengar bahwa keponakannya itu dicintai oleh si anak majikannya di Arab. Rencana pun dipersiapkan sematang mungkin. Suami Inem dipaksa untuk menceraikan Inem. Tentu saja perceraiannya pun di bawah tangan. Meski masih mencintai sang suami, Inem pun akhirnya mengalah dengan keinginan sang paman.
Setelah bercerai, Inem pun mulai "dijual" oleh sang paman kepada anak majikan dari Arab Saudi itu. Gayung bersambut. Si Arab setuju untuk mengawini Inem. Hanya saja kawin kontrak. Untuk langkah awal, kontrak dibuat hanya dua tahun. Kalau ternyata berjalan mulus, dan si Arab belum puas menikmati tubuh Inem, kontrak boleh terus dilanjutkan.
Sekitar enam bulan usai kepulangan Inem dari Arab Saudi, dan ia juga sudah bercerai dengan sang suami, anak mantan majikannya itu pun datang ke Indonesia. Ia bermaksud melamar mantan pembantunya. Repotnya, pihak aparat keamanan setempat, meminta uang 10 juta jika perkawinan kontrak ingin dilangsungkan aman di desa Inem. Akhirnya, agar tidak bikin repot dan menghabiskan banyak biaya, pernikahan itu pun dilangsungan di Puncak Bogor. Saat itu, para tetangga tak ada yang mengetahui.
(bersambung) Baca selanjutnya..
Selasa, 30 Desember 2008
Tragedi Palestina: Potret Kelemahan Umat Islam
Kondisi umat Islam di Palestina adalah potret yang terang benderang betapa lemahnya umat Islam di hadapan negara zionis Israel. Bahkan dunia internasional juga tak kalah lemahnya dalam menghadapi kebiadaban Israel. PBB tak ubahnya macan ompong di mata Israel. Seruan dan resolusi PBB tak pernah digubris negara itu.
Aku terkadang tercenung, kapan umat Islam bisa bersatu padu dan menjadi kekuatan dunia sehingga bisa melindungi saudara-saudara mereka di Palestina lantas mengusir Israel dari tanah Palestina. Kapan? Mudah-mudahan saya tidak sedang bermimpi.
Orang Yahudi memang sulit dipercayai. Hal itu sudah jelas ditegaskan dalam Alquran. Bahkan Nabi Muhammad sendiri merasakan betapa sakitnya pengkhianatan kaum Yahudi Quraizhah. Perjanjian demi perjanjian seolah tak ada artinya di mata orang Yahudi. Sungguh aneh jika kelompok Fatah Palestina masih juga mempercayai Israel Yahudi padahal berkali-kali dikhianati.
Saya yakin, Tuhan tidak pernah tidur atau berpangku tangan saat terjadi berbagai penindasan dan ketidakadilan di muka bumi ini. Kalau tidak ada kekuasaan Tuhan yang mengendalikan dunia ini, pasti dunia sudah hancur dari dulu oleh tangan-tangan para tiran. Demikian kata Quran. Jadi, aku masih berfikir positif terhadap Tuhan. Aku tidak jadi atheis hanya karena tidak mengetahui bagaimana wujud kekuasaan Tuhan dalam mengendalikan alam semesta ini.
Mungkin orang-orang Islam masih suka cakar-cakaran sendiri. Para pemimpin Islam masih sibuk dengan kekuasaannya sendiri. Masih suka diadu domba oleh Amerika. Atau masih suka menjadi kacung Amerika.
Ah, sekali lagi, aku berharap suatu saat kelak orang Islam memiliki kekuatan ekonomi, militer, teknologi. Dengan demikian, ayo kita hadapi Amerika dan Israel dengan kepala tegak! Saya berharap suatu saat, umat Islam memilki kekuatan militer yang disegani sehingga Israel berfikir seribu kali untuk melakukan agresi ke Palestina. Ada sejumput optimisme dengan bangkitnya Iran di hadapan kecongkakan Israel dan negara-negara Barat. Hingga saat ini, Israel dan negara-negara tak berani menyerang Iran yang memang memiki kekuatan militer. Baca selanjutnya..
Jumat, 26 Desember 2008
Rahma Azhari dan Sarah Azhari
Alih-alih bersikap santun, keduanya justru mengumbar kemolekan tubuh ke media massa. Berulang kali, pose mesum mereka tersebar di media massa. Yang terakhir, adalah pose keduanya sedang berbugil ria dengan penuh ceria seolah tanpa dosa saat mandi. Apapun dalihnya, publikasi itu tak kan terjadi jika mereka tidak pernah sama sekali berpose syur. Penampilan panas mereka selama ini tentu menjadi pintu masuk yang terbuka lebar bagi lelaki iseng yang kepanasan untuk menyebarkan pose-pose panas mereka. Siapa yang menanam angin, ia pun kelak menuai badai.
Kini Rahma Azhari berurai air mata di depan para wartawan. Ia merasa imagenya rusak, malu, dan harga dirinya hancur. Ia tidak ingin anak perempuannya menganggap dirinya sebagai perempuan tidak benar. Sungguh aneh sebenarnya.
Jika tidak ingin image rusak, ngapain juga pake foto bugil. Ya, meski untuk konsumsi sendiri. Bukankah keduanya publik figur, sehingga apapun yang sensasional tentang mereka, pasti jadi bahan berita? Lucu bin aneh! Kalau tak ingin tercoreng arang, jangan bermain-main arang! Baca selanjutnya..
Selasa, 23 Desember 2008
Di Pengungsiaan
Bulan Desember betul-betul bulan cobaan bagi kami. Berturut-turut terjadi: ibu mertuaku ditabrak motor hingga sekarang sudah dua minggu dalam kondisi koma di ruang ICU RS Mitra Cirebon; banjir menerjang desaku, termasuk rumahku; istriku tertusuk bekas tusuk sate di kaki hingga harus dibawa ke rumah sakit untuk divaksin anti tetanus; aku tergolek lemah diterjang demam karena kecapekan usai membereskan rumah paska banjir; adik sepupuku jatuh dari motor hingga mukanya penuh luka.
Bulan Desember memang seringkali meninggalkan cerita pilu. Tahun 2003 lalu, di bulan Desember, banjir besar juga melanda hampir separuh Indramayu. Saat itu, di rumahku ketinggian air sekitar 1,5 meter. Tsunami di Aceh juga terjadi pada bulan Desember.
Apa yang bisa diambil hikmahnya atas semua kejadiaan ini? Ternyata kita memang harus banyak bersyukur. Betapapun banyak musibah menimpa diri kita, ternyata masih banyak anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Sayang kita seringkali gagap untuk mencermati anugerah-Nya. "Andai kau menghitung nikmat Allah, kau tak kan pernah mampu melakukannya." Begitu firman-Nya dalam Alquran.
Bulan November lalu, istriku diterima sebagai CPNS. Bukankah itu sebuah nikmat-Nya? Masih banyak anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Ketika aku di pengungsiaan, aku pun trenyuh. Betapa rumah yang lebih tepat disebut gudang ukuran 5 x 3 meter harus dijejali lima orang. Ternyata rumahku jauh lebih baik dari rumah itu. Bukankah hal itu harus membuatku banyak bersyukur? Baca selanjutnya..
Rabu, 26 November 2008
Obrolan Poligami
"Nak, saya berpesan padamu," kata si ulama yang kaya raya itu, "perlakukan istrimu dengan baik. Jangan kau menduakannya dengan berpoligami karena akan menyakiti istrimu."
"Lho, bapak sendiri kan berpoligami?! Berarti bapak juga menyakiti ibu, istri tua bapak," protes sang menantu.
"Betul, anakku. Tapi bapak telah menyadari sakitnya poligami adalah justru obat dari sakit yang jauh lebih besar, yaitu ego kepemilikan."
"Ego kepemilikan bagaimana maksud bapak?
"Hampir semua wanita tidak rela suaminya menikah lagi. Ada rasa memiliki yang kuat dalam diri wanita terhadap suaminya. Seolah suaminya adalah miliknya sendiri. Padahal tak ada apapun yang bisa kita miliki di dunia ini, termasuk suami, istri, anak, harta, jabatan, popularitas, dan lain-lain."
"Memang tidak boleh ada rasa memiliki dalam diri kita? Repot dong kalau kita tidak memiliki. Nanti bisa-bisa suami atau istri kita berselingkuh dibiarin aja."
"Hmm. Anakku, kita semua bukan pemilik. Kita semua hanyalah orang yang diberi titipan oleh Sang Pemilik sejati, Tuhan Pencipta jagat raya. Kita diberi amanat untuk menjaga dan merawat dengan sebaik-baiknya semua yang dititipkan kepada kita, baik berupa istri, suami, anak, harta, jabatan, ketenaran, dan lain-lain. Pada saatnya, rela atau tidak rela, semua itu akan diambil kembali oleh $ang Pemiliknya."
"Maaf, bapak, mohon tidak tersinggung. Apa bukan karena ingin mengikuti hawa nafsu saja orang berpoligami? Pengen cari yang muda dan cantik?"
"Ha..ha.. Bapak sudah sering dituduh begitu. Cantik dan muda hanyalah salah satu pintu untuk memasuki tujuan yang lebih agung. Pintu itu sah adanya dan orang boleh memasukinya. Namun sekali lagi, ia tetaplah pintu, bukan isi rumah sesungguhnya."
"Ngomong-ngomong, kenapa Bapak meminta saya tidak berpoligami jika memang tujuan poligami seperti itu?"
"Karena Bapak tahu, putri Bapak belum mampu melepas selubung ego kepemilikan dari hatinya. Dan kau pun belum cukup kuat untuk memikul tanggung jawab yang besar dan bersikap adil jika berpoligami."
"Lantas ibu sendiri bagaimana? Ibu kan juga mungkin sakit hati dipoligami oleh Bapak. Apa ibu sudah bisa membuang ego kepemilikannya?"
"Ibu sudah mengetahui betapa penting membuang ego kepemilikan di dalam hati. Sekarang ibu sedang menjalani langsung hal itu. Tentu tidak selamanya mulus. Masih ada hal-hal manusiawi yang terjadi. Istri-istri Nabi sendiri masih suka cemburu."
"Jadi, saya boleh poligami tidak, Pak?"
"Belum saatnya, anakku. Poligami bukan datang dari keinginan pribadi yang diniatkan dari awal. Tapi lebih merupakan tuntutan keadaan. Ada misi sosial yang juga diemban. Sudahlah. Belajarlah lebih dulu." Baca selanjutnya..
Jumat, 21 November 2008
Kolonialisme Modern
Mereka tetap menyadari, memang di satu sisi sang penjajah menampilkan dirinya dengan wajah yang baik-baik melalui berbagai kebijakan politik seperti politik etis dan pembangunan berbagai infrastruktur, seperti rel kereta api dan lain. Namun di sisi lain, mereka juga mengeruk habis kekayaan alam negeri ini. Mereka menyiksa anak-anak negeri dengan kerja rodi. Mereka tumpas habis tanpa ampun para pejuang yang hendak mempertahankan kehormatan negeri ini. Bagi para penjajah, orang-orang Indonesia yang melawan angkat senjata adalah para pemberontak, inlander. Namun bagi orang Indonesia sendiri, mereka adalah para pejuang terhormat.
Dan zaman pun berubah. Penjajahan secara fisik seperti dulu itu sudah lewat. Kini kita sudah menjadi negara merdeka. Ya, meskipun istilah “merdeka” itu bisa kita perdebatkan lebih lanjut. Negara-negara penjajah itu, Belanda dan Jepang, kini sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tampaknya tak ada beban sejarah atas segala kejahatan kolonialisme yang kedua negara itu lakukan terhadap negara kita. Sementara di sisi lain, kita pun tampaknya tak begitu memedulikan terhadap kejahatan kolonialisme tersebut. Dengan kata lain, mungkin kita memang betul-betul bangsa pemaaf atau bangsa yang naif dan inferior?
Kini di zaman global yang semakin menyempitkan batas-batas geografis dan kultural sebuah negara, bangsa ini pun masih saja begitu terkesan inferior di hadapan negara-negara “maju”. Harus diakui, kita memang banyak ketinggalan dalam banyak aspek: ekonomi, teknologi, militer, dan lain-lain. Namun hal itu tidaklah menjadi justifikasi atas sikap inferior kita terhadap mereka. Harus saya ingatkan lagi, para pahlawan kita dulu, tetap berani berdiri tegak melawan para penjajah meski persenjataan mereka seadanya.
Ada semacam sindrom inferority complex yang dihinggapi oleh sebagian komponen bangsa ini, terutama para pemimpin dan cendekiawannya. Lihat saja, mereka begitu takluk dengan senjata-senjata modern non fisik yang diarahkan oleh negara-negara mantan penjajah itu. Memang senjata tersebut tidak begitu terlihat nyata sebagaimana zaman dulu. Senjata-senjata kolonialisme modern sekarang bukanlah senjata api laras panjang, meriam, bazoka, dan lain-lain. Namun, senjata-senjata itu adalah berwujud pemikiran-pemikiran yang tak disadari menggerogoti kemandirian bangsa kita. Sebut saja, misalnya, pemikiran tentang demokrasi, kapitalisme liberal, HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain. Seolah semua pemikiran itu mutlak benar dan harus kita terima mentah-mentah jika ingin menjadi negara yang maju. Wow!
Demokrasi bahkan telah menjadi berhala pemikiran bagi kebanyakan cendekiawan dan pemimpin kita. “Kita harus membangun negara yang demokratis,” begitu kira-kira slogan mereka. Namun bagi saya, demokrasi hanyalah satu cara, metode, jalan dalam menentukan arah negara ini. Tujuan negara yang terpenting adalah membangun masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Jangan kita terperangkap menganggap cara sebagai tujuan. Demokrasi sekali lagi hanyalah cara, bukan tujuan.
Banyak teman-teman saya di kampus dulu yang banyak belajar di negara Barat, seperti Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan lain-lain. Saya termasuk orang yang tidak beruntung karena tidak pintar dan cerdas sehingga tidak mendapat beasiswa seperti mereka. Mungkin, ada orang yang berkata, pendapat saya hanya karena saya iri hati tidak mendapat beasiswa ke negeri-negeri Barat. Terserah saja. Tapi, saya berusaha untuk tidak menjadi orang suka iri hati. Saya harus terima keadaan saya yang masih bisa berkuliah hingga pasca sarjana di negeri ini, negeri sendiri. Masih banyak yang tidak bisa menikmati kuliah di negeri ini. Kalaupun, toh, saya mendapat beasiswa untuk belajar di negeri-negeri Barat, saya berusaha untuk tidak terpengaruh. Dalam istilah Arabnya, yakhtalithun wa la yataghayyarun.
Nah, teman-teman saya yang belajar ke negeri-negeri Barat itu pun pulang dengan pemikiran yang “tercerahkan”. Mereka datang dengan pemikiran yang menggugat ke sana kemari. Mereka membawa pemikiran-pemikiran “modern” seperti demokratisasi, HAM, kesetaraan gender, liberalisme, pluralisme, dan lain-lain. Mereka datang dengan jumawa sembari seolah hendak menyatakan, “Inilah cara pemahaman yang benar.” Wow! Kita digiring untuk mengakui bahwa pemikiran-pemikiran kita yang selama ini diyakini adalah salah dan yang benar adalah model-model pemikiran a la Barat yang mereka bawakan.
Saya pikir, teman-teman saya itu secara tidak langsung dan tanpa disadari sebenarnya sudah terjajah secara intelektual. Mereka justru membantu para penjajah modern untuk memuntahkan peluru dari senjata-senjata pemikiran mereka kepada bangsa ini. Ya, hal ini tak ubahnya seperti para wedana di zaman revolusi dulu yang bukannya membantu perjuangan rakyat Indonesia, namun justru membantu penjajah Belanda dan Jepang untuk menindas rakyat.
Secara intelektual, kita akan tertindas jika tidak mengikuti arus pola pemikiran mereka. Kita akan dikatakan ketinggalan zaman, otoriter, konservatif, dan seterusnya jika tidak mempercayai kebenaran pemikiran-pemikiran tersebut. Pendapat-pendapat yang bertentangan dengan mainstream pemikiran mereka akan dimarjinalkan. Inilah betul-betul penindasan dan penjajahan intelektual yang tidak kasat mata. Namun bisa dirasakan jika kita masih menghargai kemandirian dan harga diri bangsa. Wallahu a’lam. Baca selanjutnya..
Kamis, 06 November 2008
Kebebasan Seks dan Moralitas
Namun di sinilah letak kontradiksinya. Di tengah begitu permisifnya mereka terhadap seks, namun ternyata mereka juga menyadari –diakui ataupun tidak—bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang benar. Mereka juga menyadari bahwa keharusan untuk melakukan hubungan seksual hanya di dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu nilai yang luhur dan terhormat. Hal itulah yang tampak pada kasus ketika Bill Clinton terlibat skandal dengan Monica Lewinsky. Masyarakat Amerika pun heboh dan mengecam sang presiden. Nyaris Clinton jatuh dari singgasananya karena skandal tersebut. Betapapun, masyarakat Amerika ternyata masih mengharapkan presiden mereka sebagai orang yang menjunjung tinggi moralitas.
Begitu pula ketika pada pemilihan presiden Amerika yang baru saja terjadi. Hal ini menimpa calon wakil presiden dari Partai Republik, Sarah Palin. Perempuan cantik itu ternyata memiliki seorang anak perempuan yang sedang hamil besar padahal ia belum menikah. Hal itu tak urung membuat Palin menjadi bahan kecaman masyarakat Amerika. Kehamilan sang anak yang di luar nikah ternyata masih dianggap sesuatu yang buruk oleh masyarakat Amerika sehingga menjadi bahan pergunjingan yang menyudutkan bagi Palin. Sebagaimana diketahui, Sarah Palin pun gagal mendampingi John McCain sebagai wakil presiden. Meski juga disadari, faktor hamil di luar nikah bukanlah satu-satunya faktor penyebab kekalahan duet McCain dan Palin di pemilihan presiden Amerika tersebut.
Berkaca dari fenomena itu, ternyata bisa dinyatakan bahwa manusia memang tidak bisa mengelabui hati nuraninya bahwa kebebasan seksual bukanlah sesuatu yang baik. Betapapun liberalnya sebuah masyarakat, ternyata mereka mengakui bahwa hubungan seks di luar nikah adalah sesuatu yang membuat kehormatan diri mereka bisa tercoreng, apalagi bagi seorang pemimpin atau calon pemimpin. Namun manusia memang sering kali berhati bebal. Meskipun menyadari bahwa kebebasan seks itu adalah sesuatu yang buruk dan menghancurkan kehormatan, tapi tetap saja melakukannya. Nah itu pula yang akhirnya membuat terjungkal sang calon (konon) menteri agama dari Golkar, Yahya Zaini. Ia terjungkal dari dunia politik karena ketahuan berhubungan seks dengan Maria Eva, yang jelas-jelas bukan istrinya. Wallahu a’lam. Baca selanjutnya..
Senin, 03 November 2008
Cantik dan Tampan

Betapa banyak perempuan cantik dan lelaki tampan. Tetapi siapa yang bisa menjamin perempuan cantik dan lelaki tampan itu juga memiliki hati dan perilaku yang baik? Bahkan sering kali perempuan cantik dan lelaki tampan itu laksana buah yang manis di luar tetapi ternyata ada ulat di dalamnya. Karena itulah, tidak serta merta setiap perempuan nan cantik dan lelaki nan tampan itu jadi cocok menjadi pasangan bagi orang yang mengagumi dan tertarik padanya.
Secara lahiriah, Luna Maya memang cantik. Mungkin tidak ada orang yang membantahnya. Secara fisik, Christian Sugiono juga ganteng nian. Namun mari kita merenung lebih dalam. Sering kali kita mengagumi keindahan fisik seseorang karena sebenarnya kita tidak betul-betul mengenal lebih detil dan lebih dekat terhadap orang tersebut. Kita mengenalnya hanya lewat televisi, tabloid, majalah, dan media massa lain. Ada jarak yang cukup jauh antara diri kita dengan obyek orang yang kita kagumi keindahan fisiknya. Ada make up, angel kamera, arahan gaya, dan lain-lain yang membuat seseorang tampak cantik atau tampan. Padahal mungkin saja, saat kita mengenal lebih dekat bagaimana kesehariannya, ia tidaklah seindah yang kita bayangkan.
Karena kita kurang mengenal lebih dalam terhadap orang yang kita kagumi keindahan fisiknya itu, maka kita pun tidak mengenal hal-hal negatif yang juga dimiliki oleh orang yang kita kagumi itu. Mungkin saja seorang Luna Maya, misalnya, tidak akan tampak cantik jika ia baru bangun tidur dengan wajah kucel tanpa make upa serta rambut yang awut-awutan. Begitu pula seorang Tora Sudiro mungkin saja tidak akan tampak tampan di mata kita ketika mengetahuinya sedang mabuk sempoyongan lantas terjerembab di sebuah got yang kotor.
Penilaian terhadap kecantikan atau ketampanan seseorang juga berkaitan dengan keindahan batin dan perilaku. Dalam bahasa lain, ada inner beauty. Karena itulah, banyak orang, termasuk saya, juga tidak lagi menganggap “cantik” terhadap Siti Nurhaliza ketika ia “merebut” suami orang. Saat keindahan fisik tidak dibarengi dengan keindahan hati dan perilaku maka saat itulah, keindahan fisik menjadi kurang bermakna. Keindahan fisiknya tidak lebih dari godaan yang menjebak bagi orang yang mengaguminya. Kecantikan seorang Astri Ivo yang menggunakan busana tertutup dan tidak pernah terdengar bermasalah dalam rumah tangganya, tentu berbeda 180 derajat dengan kecantikan seorang Five Vi yang suka mengumbar lekuk tubuhnya dan rumah tangganya yang berantakan. Yang satu kecantikan yang menimbulkan keteduhan, sedang yang satunya kecantikan yang menimbulkan kegelisahan karena godaan seksualnya.
Di sisi lain, seorang yang mengagumi kecantikan atau ketampanan orang lain, mestinya juga harus menyadari bahwa belum tentu orang yang dikagumi betul-betul cocok dengan dirinya. Mestinya seseorang harus belajar menerima apa adanya pasangannya yang selama ini mendampingi dirinya. Mungkin pasangan kita selama ini tidak secantik atau setampan artis yang kita kagumi. Namun kita sudah betul-betul mengalami dan merasakan cinta, kebaikan, dan kasih sayang pasangan kita selama ini. Sementara orang yang kita kagumi kecantikan atau ketampanannya belum tentu ia sebaik pasangan kita sekarang.
Jadi marilah, kita belajar untuk menerima apa adanya dengan kondisi pasangan kita selama ini. Orang Jawa bilang nrimo. Orang Arab bilang qana’ah. Tak ada gunanya perempuan cantik jika ia mengumbar kecantikannya kepada setiap lelaki dengan tingkah laku yang genit. Tak ada kesetiaan cinta yang ia pegang erat. Tak ada gunanya lelaki ganteng jika ia memanfaatkan kegantengannya hanya untuk menyakit banyak hati wanita. Ia tebarkan banyak cinta semu kepada banyak wanita.
Baca selanjutnya..
Selasa, 14 Oktober 2008
Ada Apa denganmu, Indramayu?
Di kota Indramayu, perda tentang anti miras sudah disahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi apa lacur yang terjadi? Sepuluh orang lebih mati sia-sia karena berpesta ria di malam Hari Raya Idul Fitri dan seusai shalat Id! Sungguh ironis! Sebelumnya, di bulan Ramadhan, ketika orang-orang (Islam) mestinya mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperbanyak ibadah, 21 orang lebih tewas mengenaskan karena, lagi-lagi, pesta miras. Ada apa denganmu, Indramayu?
Ada lagi kontradiksi yang menyesakkan dada. Di Indramayu, banyak para santri yang belajar di berbagai pesantren, baik di Jawa Timur, maupun di daerah-daerah lain. Di Indramayu sendiri, hampir setiap kecamatan ada pesantren. Hampir setiap desa ada Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). Bahkan para penghafal Alquran (hafiz/hafizah) juga lumayan banyak. Lulusan Al-Azhar Kairo juga tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah Kabupaten Indramayu juga mewajibkan untuk mengenakan jilbab kepada para karyawan perempuan yang beragama Islam di seluruh instansi pemerintahan dan juga kepada para siswi beragama Islam.
Namun yang terjadi di tengah masyarakat, tingkat prostitusi dan traficking cukup tinggi. Jika ada anak gadis seusia anak SMP atau SMA dan memiliki para lumayan serta berasal dari keluarga miskin, maka jangan harap anak itu lepas dari pantauan para kaki tangan mucikari yang siap menjual mereka ke Jakarta, Batam, atau di Indramayu saja. Orang tua pun dengan sadar menjual anak-anak gadis mereka untuk membantu perekonomian keluarga. Memang sangat mudah untuk mendeteksi seorang perempuan Indramayu apakah ia seorang perempuan “nakal” atau bukan. Lihat saja penampilannya. Jika ia berpenampilan seksi bergaya bak artis ibukota, berdandan menor, dan berkeliaran di malam hari, maka kemungkinan besar ia adalah perempuan "nakal!"
Ada sebuah cerita tragis yang terjadi di Amis, salah satu desa di Indramayu. Alkisah, ada seorang ayah yang nekad menjual tanah berikut rumah yang ia tempati. Tak ayal ia pun tak punya tanah dan rumah lagi. Hal itu ia lakukan guna memperoleh modal demi mempercantik dan merubah penampilan kedua anaknya. Setelah kedua anak berpenampilan cantik laksana artis sinetron, keduanya pun dipekerjakan sebagai pelacur kelas tinggi di Jakarta. Setelah menjadi pelacur kelas atas, keduanya mengirimkan uang secara rutin kepada sang ayah yang sudah bercerai dengan istri yang juga mantan seorang pelacur. Tidak hanya uang, keduanya pun membangun rumah megah berarsitektur modern yang menjadi rumah paling bagus di Amis saat itu.
Namun Tuhan memang tidak tidur. Ketika sekitar dua tahun lalu terjadi bencana angin puting beliung di desa tersebut, rumah nan megah itu pun luluh lantak tak bersisa. Kedua anaknya lantas berhenti dari profesi sebagai PSK dan menikah. Menyadari pasokan uang dari sang anak terhenti karena berhenti dari pekerjaan sebagai PSK, sang ayah marah besar dan seolah menganggap kedua anaknya itu sebagai anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua.
Di Indramayu, adalah sangat biasa jika anak gadis berumur 17-20 tahun menikah. Ya, pernikahan dini. Dan apa yang terjadi kemudian dengan pernikahan mereka. Kebanyakan pernikahan itu berujung dengan perceraian. Sebagai seorang petugas pencatat nikah yang tiap hari bergelut tentang pernikahan, saya tahu persis tentang hal itu. Pernikahan bagi para pengantin muda itu, tampaknya tak lebih dari sekedar warming up untuk kelak menikah lagi dua atau tiga kali. Atau juga pernikahan itu tak lebih dari sekedar untuk menutup malu keluarga karena sang gadis telah hamil di luar nikah.
Mungkin ada sesuatu yang salah yang harus dibenahi di masyarakat Indramayu. Sepanjang pengamatan saya, memang budaya hura-hura sangat kental di Indramayu. Seorang tukang ojek atau tukang becak bahkan rela menghutang ke sana kemari untuk mengadakan acara khitanan anaknya. Acara itu pun digelar besar-besar dengan mengundang organ tunggal atau sandiwara di siang hingga malam hari. Sebelumnya sang anak yang dikhitan juga diarak menggunakan acara Singa Depok yang diiringi dengan dangdut tarling. Orang-orang pun, muda tua, laki-laki dan perempuan, dengan berjoget ria sembari mabuk di belakang arak-arakan Singa Depok. Ketika organ tunggal dilangsungkan, sang tuan rumah juga menyediakan berkrat-krat minuman keras untuk pemuda-pemudi bermabuk ria saat penyanyi tarling beraksi di atas panggung.
Berbagai persoalan sosial semestinya menjadi perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Indramayu dan juga seluruh elemen masyarakat yang ada. Sudah sepatutnya ada rekayasa sosial sedemikian rupa agar berbagai persoalan tersebut bisa diminimalisir juga tidak bisa dihilangkan sama sekali. Kelak ketika pilkada bupati mendatang, tampaknya harus ada kontrak politik agar jika calon bupati terpilih harus berani mengatasi berbagai persoalan tersebut. Ya, tidak hanya berupaya mengumpulkan pundi-pundi uang untuk mengembalikan ongkos pilkada. Baca selanjutnya..
Selasa, 30 September 2008
Dan Tuhan pun Berlebaran

Oleh: Abdul Kholiq
Lebaran berarti lebar, lebur, luber yang notabene merupakan sifat Allah Yang Maha Pengampun bagi manusia yang memang banyak membuat kekeliruan terhadap sesamanya, Penciptanya, dan bumi yang disediakan untuk mereka. Kalau kita melihat kecenderungan manusia dalam kehidupannya, kita menyadari bahwa mungkin manusia memang layak dihukum oleh Allah. Akibat kelalaian dan kecerobohan yang dibuat manusia, Allah pun punya banyak alasan untuk memberikan manusia hukuman yang setimpal. Tapi Gusti Allah sangat lebur; artinya memaafkan, mengampuni. Dalam Quran pun dinyatakan, Allah memiliki sifat ghafur artinya mengampuni, memaafkan. Jika Gusti Allah tidak memiliki sifat ghafur, manusia tentu dalam kehancuran. Dan manusia pun harus bisa memaknai segala sifat ketuhanan untuk bisa diterapkan pada kehidupan sesamanya. Pemaknaan itu dengan cara bahwa pengampunan harus melewati proses kesadaran dan pengakuan bahwa ia telah melakukan kekeliruan dan bersedia untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Jika kita telah mengambil sepatu milik teman kita, cara maaf adalah mengembalikan sepatu itu pada teman kita, meskipun tidak cukup dengan mohon maaf saja. Begitu juga kesalahan-kesalahan yang dibikin manusia terhadap Tuhannya. Manusia harus bersedia menggantikan kekeliruan yang dibuatnya dengan segala kesadaran untuk tidak mengulanginya lagi. Maka Tuhan pun akan melebur kesalahan-kesalahan dengan menggantikan jalan-jalan kemudahan bagi manusia.
Lebaran bagi banyak kalangan hanya sanggup dimaknai dengan baju baru dan bersilaturahmi. Mereka belum sampai untuk bisa menukik jauh ke dalam, menyelinap di balik makna-makna lebaran. Memang banyak manusia kurang berminat untuk menikmati keindahan makna-makna yang terkandung dalam setiap hal yang bersentuhan dengan dirinya. Lebih banyak hanya bisa dinikmati secara fisik ketimbang secara rohani, yang sebenarnya jauh lebih nikmat ketimbang menikmati baju-baju baru. Kita pun menyadari betapa sedikitnya penikmat jalan-jalan rohani. Di sisi lain, saat ini sedang terjadi proses pendangkalan dan pembusukan pada berbagai hal, karena ukuran-ukuran yang sering digunakan adalah ukuran seragam, peci, baju, titel haji, gelar akademik, yang sangat memungkinkan terjadi kekeliruan-kekeliruan fatal dalam penentuan sikap.
Idul Fitri --yang dirayakan jutaan orang dengan biaya yang tidak sedikit-- kurang bisa dimaknai dengan kecerdasan yang memadai. Seluruh manusia hiruk-pikuk merayakan dengan berbagai kegiatan, termasuk mega takbiran yang diselenggarakan pemerintah. Mereka menyangka bahwa dengan menyerukan takbir seantero langit, Tuhan pun merasa senang. Tapi Gusti Allah yang seharusnya diagungkan justru tidak dibesarkan bahkan dilupakan. Jika mereka, pemerintah, hendak berlebaran berarti lebar. Artinya, seharusnya mereka selesai dan rampung dari cara-cara untuk merampok kesejahteraan rakyat lantas memperbaiki kinerja yang masih amburadul; melihat kebijakan yang sedang berlangsung yang memungkinkan untuk rakyat bisa merasakan berlebaran sepanjang kehidupan bangsa; bukan hanya berlebaran sesaat; bergembira saat pulang kampung bertemu dengan sanak saudara; dan melupakan sesaat keresahan hidup. Memang tampaknya bangsa Indonesia tidak pernah berlebaran sesungguhnya,
Lebaran pun dijadikan sebagai ajang mengalihkan kegelisahan masyarakat urban yang tidak menemukan arti lebaran yang sesungguhnya. Hal itu karena kebijakan penguasa hanya seperti baju leberan, yang dipakaikan untuk orang yang sakit dan bukan mengobatinya agar sehat. Dengan membeli baju baru, mereka mengira hal itu bisa melupakan sakit mereka. Bangsa ini sedang melakukan penghancuran diri sendiri; memiskinkan diri sendiri; dengan merendahkan kebesaran-Nya. Dan yang paling mendasar, mereka tidak mengerti akan kebesaran-Nya. Baca selanjutnya..
Sabtu, 27 September 2008
Perempuan Berbugil Ria
Di belahan dunia yang paling sekuler dan liberal sekalipun, seorang wanita yang menghargai dan menghormati dirinya tidak akan memamerkan aurat tubuhnya di depan umum. Tanyakan saja, pada Hillary Clinton, apakah ia mau berfoto bugil di depan kamera lantas foto itu dipublikasikan ke khalayak umum. Aku yakin ia pasti menolak ide gila itu. Bukannya popularitas yang akan ia dapat guna menggapai impiannya sebagai presiden Amerika, tapi justru cacian dan makian yang justru semakin menjatuhkannya ke liang paling dasar dari bursa pencalonan presiden Amerika.
Mungkin ada yang berkata, “Terang aja, Hillary tidak mau. Dia kan merasa nggak cantik. Tidak seksi dan fashionable.” Meskipun Hillary Clinton seorang perempuan cantik, dulunya merupakan artis yang seksi, pernah difoto bugil, dan masih muda, tetap saja ia kini tidak akan mau mempertaruhkan reputasinya sebagai perempuan terhormat yang juga istri dari mantan seorang presiden. Saya yakin, ia tidak sudi memamerkan auratnya di muka umum layaknya para fotomodel Playboy atau Penthouse. Ia tidak akan bertindak konyol dengan mencampakkan peluangnya untuk menjadi presiden hanya karena foto bugil yang juga konyol. Masih dalam ingatan kita, betapa banyak hujatan dan cacian kepada Dewi Soekarno yang notabene mantan istri Presiden Soekarno. Saat itu dengan bangganya, Dewi Soekarno berfoto bugil ria dan dipublikasikan ke seantero jagat.
Dengan demikian, konsep aurat perempuan yang diperkenalkan oleh Islam, sebenarnya diakui pula oleh masyarakat di belahan manapun di muka bumi, termasuk negeri paling liberal dan sekuler sekalipun. Kebebasan seks dan kebebasan informasi ternyata tidak serta merta menghilangkan habis nurani manusia tentang arti menjaga aurat dan kehormatan diri.
Terkadang aku berpikir, betapa anehnya perempuan modern di masyarakat sekarang. Mereka berteriak tidak mau dilecehkan. Tapi di sisi lain, mereka dengan sukarela menjadikan dirinya sasaran pelecehan orang lain. Jika Dewi Persik tidak ingin dilecehkan, maka jagalah kehormatan dirinya; bungkuslah tubuhnya dengan sopan. Bukan dengan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya di depan banyak orang, termasuk para lelaki kurang ajar yang mudah terpancing berahinya. Sungguh tidak logis.
Aku pernah membaca koran tentang seorang artis Italia yang doyan berbugil ria di depan kamera, bahkan di depan banyak orang di tengah lapangan sepak bola jika klubnya berhasil menang. Tak ayal ia pun dikenal sebagai artis yang seksi dan mampu mengaduk-aduk berahi para lelaki yang melihatnya. Tentu saja logis, jika kemudian ada lelaki yang mengajaknya tidur bersama. Tentu saja masuk akal, jika kemudian banyak lelaki menganggapnya sebagai perempuan yang bisa diajak kencan. Karena itu, menjadi lucu jika kemudian sang artis itu mencak-mencak ketika ada beberapa pemain sepak bola terkenal yang mengajaknya bermain seks. Bukankah artis itu sendiri sudah menyediakan dirinya sendiri secara suka rela untuk dianggap sebagai perempuan murahan? Kenapa harus marah-marah?
Terkadang para feminis membantah bahwa hal itu karena kaum lelaki yang tidak bisa menghargai perempuan dan pikirannya sudah kotor. Kalau lelaki yang melihat seorang perempuan berpakaian seksi, tapi pikirannya tidak kotor dan melayang kemana-mana, tentu tidak akan terjadi masalah.
Sesungguhnya, menurutku, pendapat kaum feminis adalah sangat absurd. Apa yang terpikir oleh seorang lelaki di dalam otaknya juga merupakan refleksi dari apa yang dilihatnya. Ada prinsip sebab akibat, prinsip kausalitas. Adalah suatu hal yang lumrah jika lelaki akan terangsang jika melihat pemandangan yang mengaduk-aduk berahinya. Justru merupakan tidak normal, jika lelaki memandang perempuan yang berpenampilan seksi, namun tidak terangsang. Persoalannya kemudian, apakah rangsangan itu bisa dikendalikan oleh si lelaki atau tidak. Itu yang berbeda antara satu lelaki dengan lelaki lain.
Hukum Islam kuyakini bersifat universal, sangat manusiawi, rasional, dan alamiah. Hukum Islam menyuruh perempuan menutup auratnya dan menyuruh lelaki serta perempuan untuk menjaga penglihatannya. Hal itu karena sudah sangat jelas, aurat perempuan yang terbuka dan pandangan lelaki yang tidak dikendalikan adalah bisa menjadi sumber malapetaka. Pemerkosaan adalah harga yang mahal untuk menebus kebebasan yang diobral di masyarakat kita.
Perlu Dikasihani
Perempuan yang berbugil ria sebenarnya perlu dikasihani. Mengapa? Karena sesungguhnya ia telah merendahkan dirinya sendiri sehingga tak ubahnya seperti binatang. Ia telah melepaskan harkat dirinya sebagai manusia. Bagaimanapun, binatang tidak memerlukan baju. Binatang juga tidak memiliki rasa malu. Sesuai dengan naluri kebinatangannya, seekor binatang betina berperilaku menggoda sang pejantan. Sementara sang pejantan berusaha mendekati sang betina sehingga bisa memuaskan naluri berahi.
Begitupula dengan seorang perempuan yang membuka bajunya dan memamerkan auratnya. Sesungguhnya saat itu, ia tak ubahnya seekor binatang betina yang sedang menggoda sang pejantan. Binatang tidak memerlukan lembaga perkawinan untuk melampiaskan nafsu berahinya. Dengan demikian, manusia yang melakukan hubungan tidak dalam ikatan lembaga perkawinan, sesungguhnya mereka sedang meniru perilaku binatang. Atau paling tidak, mereka sedang kembali ke zaman manusia primitif yang memang tidak mengenal lembaga pernikahan.
Apa yang akan terjadi jika manusia sudah merendahkan dirinya sehingga ke derajat binatang? Kesengsaraan dan kehinaan. Makhluk yang berperilaku tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka sesungguhnya ia berperang melawan kodratnya. Peperangan itu hanya akan melahirkan kesengsaraan dan kehinaan. Bukankah manusia diciptakan agar ia bisa menjadi makhluk yang mulia di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain? Manusia telah dianugerahi akal, hati nurani, dan dipandu oleh kitab suci. Perangkat-perangkat itu bisa ia gunakan untuk mencapai derajat yang tinggi sebagai makhluk dan meraih kebahagiaan yang lebih hakiki.
Kebahagiaan bukanlah diukur dari kepuasan seksual. Jika kepuasan seksual adalah ukuran kebahagiaan, tentu saja para pelacur adalah orang-orang yang paling berbahagia di muka bumi ini. Dus, orang yang tidak menjalani kebahagiaan hidup seks bebas adalah orang yang paling tidak berbahagia. Tapi, lihatlah. Apakah para pelacur itu berbahagia dengan kebahagiaannya? Saya yakin, tidak. Betapa banyak pelacur yang meregang nyawa diterjang penyakit kelamin. Betapa banyak pelacur yang hidup terlunta-lunta di hari tuanya karena telah mengukir kehinaan di jidatnya dengan perbuatan lacurnya. Justru kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika manusia mampu mengendalikan nafsu seksualnya. Karena sesungguhnya, nafsu seksual jika senantiasa dituruti, ia akan menyiksa manusia hingga manusia menjadi budak nafsu itu sendiri. Sebaliknya, jika nafsu seksual dikendalikan dan disalurkan sesuai dengan titah Tuhan, ia akan menjadi mosaik kebahagiaan yang menghiasi hidup manusia. Baca selanjutnya..
Jumat, 26 September 2008
Dendam itu Belum Berkesudahan
Dimuat di Republika: 19-08-2008
Pada saat kita di Indonesia sedang gencar-gencarnya mengukuhkan tali
persaudaraan lintas iman, dan sampai batas-batas yang jauh telah
memberi hasil yang sangat positif, masih ada saja pihak di belahan
bumi sana yang berupaya membuyarkannya, sekalipun tidak secara
langsung. Kali ini kita soroti Patrick Sookhdeo, seorang tokoh
penginjil melalui artikel yang berjudul '' The Myth of a Moderate
Islam'' dalam majalah Spectator (London, 30 Juli 2005), dan telah
dibantah oleh penulis Vincenzo Oliveti yang dimuat dalam majalah
Islamica dengan judul '' The Myth of 'the Myth of Moderate Islam',''
beberapa waktu yang lalu. Di mata Sookhdeo, apa yang dikenal dengan
Islam moderat dan berwajah ramah hanyalah sebuah mitos, tidak ada di
dunia nyata. Wajah Islam yang hakiki, katanya, adalah kebengisan,
kegarangan, dan kekerasan, seperti yang ditampilkan oleh segelintir
kelompok radikal, militan, bahkan teroris. Tuduhan semacam inilah yang
dikuliti Oliveti melalui tulisannya di atas.
Dalam artikel yang cukup panjang dengan data sejarah yang akurat,
Oliveti menilai Sookhdeo telah dengan sengaja memutarbalikkan fakta
yang sebenarnya, demi dendamnya kepada Islam yang belum juga
berkesudahan. Memang, sangat menyakitkan tuduhan penginjil ini yang
menyimpulkan bahwa terorisme adalah wajah Islam yang sebenarnya.
Artinya, menurut penginjil ini, mayoritas umat Islam adalah pendukung
teror. Bahwa ada sekelompok kecil umat yang terlibat dalam aksi
kekerasan dan teror memang tidak perlu ditutupi, tetapi membuat
generalisasi adalah sebuah dusta.
Agar tidak mengada-ada, Oliveti menurunkan angka-angka ini: Kurang
dari 5 persen umat Islam yang dapat dimasukkan dalam kategori
fundamentalis; dari yang 5 persen ini, kurang dari 0,01 persen yang
punya kecenderungan untuk melakukan teror atau tindak kekerasan atas
nama agama. Dengan kata lain, paling banter hanyalah seorang dari
200.000 Muslim yang mungkin dapat dimasukkan sebagai teroris.
Selebihnya adalah manusia normal belaka yang cinta damai dan
antikekerasan. Tetapi, mengapa sejak Tragedi 11 September 2001, segala
tuduhan busuk tetap saja dilemparkan kepada Islam sampai detik ini,
sekalipun sudah semakin melemah?
Oliveti kemudian menelusuri data teologis dalam Kristen dan Islam
tentang praktik paksaan dalam agama. Tulis Oliveti: ''Tidak dijumpai
dalam sejarah Islam sebuah doktrin yang menyamai doktrin St Agustinus,
cognite intrare (dorong mereka masuk--artinya 'paksa mereka
pindah iman'). Justru dalam Alquran yang ada kebalikannya: 'Tidak ada
paksaan dalam agama (2: 256)'.'' Gagasan Agustinus yang menakutkan itu
bahwa semua orang harus dipaksa ''menyesuaikan diri'' kepada ''iman
Kristen yang benar'' selama berabad-abad telah menumpahkan darah yang
tidak ada taranya.
ungguh umat Kristen lebih menderita di bawah kuasa peradaban Kristen
daripada di bawah kekuasaan Romawi pra-Kristen atau di bawah kekuasaan
lain sepanjang sejarah. Jutaan dianiaya atau disembelih atas nama
agama Kristen selama periode-periode kebid'ahan Arian, Donatist, dan
Albigenesia. Belum lagi kita berbicara tentang bermacam inkuisisi,
atau Perang Salib, di kala tentara Eropa berkata, saat menyembelih
umat Kristen dan Arab Muslim: ''Bunuh mereka semua, Tuhan akan tahu
sendiri.''
Masa lampau yang gelap ini jangan lagi disegarkan dengan cara-cara
keji yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
saat semua pemeluk agama kini ditantang untuk menyelamatkan jenis
manusia dari harakiri perdaban modern. Penginjil Sookhdeo harus
menyadari bahwa menuduh pihak lain secara semena-mena sama saja dengan
mengkhianati Injil itu sendiri. Oliveti melanjutkan: ''Tidak perlu
dikatakan, semua pelanggaran di atas--dan sungguh semua pelanggaran
umat Kristen sepanjang abad--yang demikian itu sama sekali tidak ada
kaitannya dengan Yesus Kristus dan atau bahkan dengan Perjanjian Baru.
Sesungguhnya, tak seorang Muslim pun per definisi pernah atau akan
pernah menyalahkan semuanya ini atas pundak Yesus Kristus. Maka,
bagaimana ini berlaku sehingga Sookhdeo menyalahkan
pelanggaran- pelanggaran Muslim (sekalipun lebih kecil dibandingkan
pelanggaran Kristen) atas Alquran ...?''
Berapa banyak darah tertumpah pada waktu terjadi Gerakan Reformasi dan
Anti-Reformasi di Eropa? Menurut catatan Oliveti, tidak kurang dari
2/3 penduduk Kristen Eropa yang terbantai pada waktu itu. Itu belum
lagi dihitung perang-perang yang lain, pogrom (pembantaian
terorganisasi) , revolusi, dan genosida (pembunuhan secara teratur
terhadap sebuah etnis, suku bangsa), Perang Napoleon; perdagangan
budak Afrika yang menghabiskan nyawa sebesar 10 juta; berapa juta pula
yang musnah akibat penaklukan-penakluk an kolonial. Jangan Anda tanya
lagi berapa banyak penduduk asli Amerika yang dibantai oleh orang
Eropa, baik di Amerika Utara, Tengah, ataupun Selatan, angkanya
mencapai 20 juta selama tiga generasi.
Jika kita bergerak ke abad ke-20, angkanya semakin mengerikan.
Peradaban Barat telah mengubah peperangan ke kutub ekstrem. Perkiraan
konservatif yang mati di abad ke-20 lebih dari 250 juta. Dari jumlah
ini umat Islam hanya bertanggung jawab kurang dari 10 juta. Umat
Kristen atau mereka yang berlatar belakang Kristen telah membunuh
lebih dari 200 juta. Jumlah terbesar berasal dari Perang Dunia (PD) I
sejumlah 20 juta; setidak-tidaknya 90 persen dari angka ini dilakukan
oleh orang ''Kristen''. Angka yang lebih dahsyat lagi terjadi selama
PD II sebesar 90 juta, sekurang-kurangnya 50 persen dilakukan oleh
pihak ''Kristen''. Selebihnya terbunuh di Asia Timur.
Oliveti kemudian bertanya: ''Dengan sejarah yang serbasuram ini,
terlihat bahwa kita semua orang Eropa harus bertempur dengan fakta
bahwa Perdaban Islam dalam kenyataannya malah kurang brutal jika
disandingkan dengan Peradaban Kristen. Apakah Holocaust terhadap lebih
enam juta Yahudi yang terbunuh berlaku dengan latar belakang Peradaban
Muslim?''
Tetapi, Oliveti tidak menurunkan angka berapa pula yang terbunuh
akibat pertempuran dan konflik sesama Muslim, demi kekuasaan, dalam
berbagai periode sejarah, sebagai yang terbaca dalam ''Perspektif' '
saya dalam Gatra, 31 Juli-6 Agustus 2008, hlm 106. Tampaknya
darah lebih banyak tertumpah akibat konflik sesama Muslim dibandingkan
dengan antara Muslim dan non-Muslim. Tengok apa yang terjadi di Irak
dan Afghanistan, dan sampai batas-batas tertentu di Indonesia pada
waktu yang lalu, semuanya adalah pembunuhan oleh Muslim terhadap
Muslim, apa pun ideologi politik yang melatarbelakanginya .
Kembali kepada data terbaru Oliveti. Selama abad ke-20, kekuasaan
Barat atau Kristen bertanggung jawab atas kematian umat manusia
sekurang-kurangnya 20 kali lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan
Muslim. Di abad ini Barat telah membinasakan manusia dengan jumlah
raksasa, lebih dahsyat dari seluruh korban yang terjadi sepanjang
sejarah Islam. Ini berlangsung sampai detik ini. Ambil contoh
pembantaian 900 ribu rakyat Ruwanda tahun 1994, di mana penduduknya
lebih 90 persen Kristen; atau tengok pula genosida atas lebih dari 300
ribu Muslim plus pemerkosaan atas lebih 100 ribu wanita Muslim oleh
Serbia Kristen di Bosnia pada 1992-1995. Maka, secara statistik,
Peradaban Kristen adalah yang terbanyak menumpahkan darah dan yang
paling kejam dibandingkan dengan peradaban manapun sepanjang sejarah.
Lebih jauh Oliveti mengkritik penggunaan senjata nuklir yang
semestinya cukup alasan bagi Barat untuk merasa malu di depan umat
manusia di muka bumi. Amerika Serikat telah menciptakan senjata nuklir
dan telah pernah menggunakannya. Bangsa-bangsa Barat lainnya juga
berupaya memonopoli persenjataan yang bisa membawa kiamat itu.
Sekalipun Islam punya konsep tentang perang yang sah (seperti halnya
agama Kristen dan Budha), tidak pernah ada dalam kultur Islam (atau
dalam kultur manapun yang bertahan sampai sekarang) yang mengidolakan
semuanya seperti yang terdapat dalam kultur Barat.
Selanjutnya, manusia Barat menganggap dirinya suka damai, tetapi dalam
kenyataannya kelembutan dan keluhuran Perjanjian Baru, dan watak
cinta-damai demokrasi, jarang sekali tecermin dalam kultur rakyat umum
Barat. Yang berlaku dalam kultur itu, seperti terlihat dalam film-film
Hollywood, TV Barat, permainan video, musik populer, dan hiburan
sport--adalah untuk mengagungkan dan menanamkan kekerasan. Maka,
tidaklah mengherankan tingkat angka pembunuhan jauh lebih tinggi di
dunia Barat tinimbang di negeri-negeri Muslim. Mengapa seorang
Sookhdeo tidak mau becermin?
Komentar saya, terasa sekali kemarahan Oliveti terhadap seorang
penginjil yang tidak adil dalam membaca masa lampau Barat yang sarat
dengan pertumpahan darah. Tetapi, kemarahan serupa juga wajib kita
alamatkan kepada kelompok kecil Muslim yang senang membajak Tuhan,
demi darah Muslim dan non-Muslim Baca selanjutnya..
Jumat, 19 September 2008
Fenomena Tayangan Ramadhan
Ada yang sedikit mengusik hati saya dalam tayangan-tayangan tersebut. Mungkin juga keterusikan itu tidak hanya dialami oleh diri saya. Mungkin saja banyak orang yang merasakannya. Tengok saja, sinetron atau komedi yang ada di beberapa stasiun televisi. Mereka yang sebelumnya menjalani kehidupan mereka sebagai artis yang glamour, tiba-tiba merubah penampilan mereka menjadi berkerudung, berjilbab, mengenakan surban dan kopiah. Penampilan mereka sungguh bertolak belakang dengan kehidupan mereka di luar Ramadhan. Kita seolah melihat sekumpulan orang bertopeng yang menutupi jati diri mereka yang sebenarnya.
Ambil contoh, Nia Ramadhani, artis remaja yang beberapa bulan lalu dihebohkan dengan fotonya yang begitu seksi. Dalam foto itu, Nia mengenakan baju renang dipangku oleh dua orang laki-laki. Foto itu tersebar luas di internet. Dalam keseharian pun, Nia tidak pernah terlihat mengenakan jilbab atau kerudung. Namun, saat di bulan Ramadhan, dengan santun, ia mengenakan jilbab dalam sebuah sinetron.
Contoh lain, Titi Kamal. Artis cantik yang selama ini sering mengenakan pakaian dengan dada terbuka. Di samping itu, ia pun terlibat hubungan asmara dengan seorang artis beken nan ganteng, Christian Sugiono, yang notabene non muslim. Nah, saat di bulan Ramadhan, tak ketinggalan, Titi Kamal menjadi seorang perempuan yang dengan anggun mengenakan busana jilbab dalam sinetron Muslimah.
Profesi Artis (Mestinya) juga Bagian Ibadah
Apa yang bisa kita renungkan dengan fenomena ini? Dari sudut pandang dunia film, memang adalah sesuatu yang wajar bagi seorang artis untuk memerankan apapun peran yang ada di film. Dengan alasan profesionalitas, seorang artis rela memamerkan aurat demi tuntutan peran. Sebaliknya, seorang artis pun dengan begitu anggun mengenakan jilbab di dalam sinetron, meskipun dalam kehidupan sehari-harinya ia tidak pernah mengenakan jilbab.
Sejatinya, kehidupan dunia adalah panggung luas tempat kita memerankan peranan yang mestinya disesuaikan dengan skenario yang telah dibuat oleh Sang Pencipta. Seseorang saat melakukan sesuatu apapun, termasuk profesi di dunia entertainment, adalah bentuk ibadah atau pengabdian kepada Sang Maha Sutradara, Tuhan Yang Maha Indah. Karena sebagai ibadah itulah, seseorang harus menyesuaikan tingkah lakunya, termasuk saat ia bekerja sebagai artis, dengan tuntutan perannya sebagai hamba Sang Kuasa. Ketika Tuhan memerintahkan wanita untuk memelihara kehormatan dirinya dengan menutup aurat, maka perintah itu pun berlaku saat ia bekerja di dunia akting.
Selain sebagai ibadah, seseorang muslim mestinya juga menempatkan segala aktivitas di tengah masyarakat, termasuk saat ia bekerja di dunia akting, dalam kerangka pembelajaran atau dakwah kepada masyarakat. Karena itulah, saat seorang artis muslim memainkan perannya di dunia film, saat itu pula ia seyogianya menjadikan perannya itu sebagai bentuk contoh bagi masyarakat. Begitu pula saat ia memerankan sebagai seorang muslimah yang dengan taat menjalankan ajaran-ajaran agama, termasuk dengan mengenakan jilbab. Berbusana dengan jilbab adalah bentuk pesan kepada masyarakat bahwa seperti itulah seorang muslimah seharusnya berbusana dalam kehidupannya sehari-hari.
Lantas bagaimana jadinya, jika pesan itu disampaikan oleh seorang artis yang sehari-harinya justru tidak pernah mengenakan jilbab dan jarang shalat, misalnya? Hal itu seolah menjadi sebuah kemunafikan yang begitu mengiris hati bagi masyarakat yang menonton tayangan-tayangan tersebut. Seolah tidak nyambung antara pesan yang ingin disampaikan oleh sang artis dengan perilakunya sehari-hari. Jika, sudah demikian, mungkin agak berlebihan jika kita mengharapkan tujuan penting tayangan Ramadhan sebagai media dakwah bisa tercapai.
Tapi, mungkin pula, bagi para produser pemilik PH itu, tujuan dakwah tidaklah termasuk dalam kalkulasi bisnis mereka. Momen Ramadhan tak lebih dari sekedar ajang bisnis yang bisa digunakan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi kebanyakan para pemilik PH yang besar bukanlah orang muslim. Dengan demikian, bagaimana mungkin, mengharapkan mereka sudi menggarap tayangan-tayangan yang memang sesuai dengan ajaran Islam?
Mungkin yang termasuk dalam kalkulasi mereka adalah bagaimana menampilkan artis cantik atau ganteng yang sedang naik daun agar tayangan produksi mereka bisa laris di pasaran. Persetan amat apakah para artis itu dalam kehidupan sehari-harinya menjalankan ajaran agamanya atau tidak. Bahkan justru terkadang artis yang dipakai pun adalah mereka yang non muslim yang tidak mengerti apa-apa tentang Islam. Sungguh ironis memang.
Hal ini tentu bisa menjadi PR besar bagi para sineas muslim yang masih memiliki spirit dakwah. Mungkin kita tidak perlu terlampau berkecil hati dengan fenomena tersebut. Betapapun, Dedi Mizwar, dengan sinetron Para Pencari Tuhan, sudah mampu menelurkan sinetron berkualitas yang sedikit banyak sesuai dengan tuntunan agama. Memang seyogianya, para pemain sinetron religius itu berperan sebagai para penyampai pesan agama yang mereka sendiri sudah melakukan pesan itu terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian, sinetron tidak hanya menampilkan para artis secara asal-asalan: yang penting cantik dan ganteng.
Musik Ramadhan
Dalam jagat musik pun, momen Ramadhan betul-betul menjadi bahan garapan para pemusik. Seolah latah, para pemusik berbondong-bondong meliris album religius yang mengagungkan Tuhan. Kita seolah menonton orang-orang yang menyeru keagungan Tuhan, namun mereka sendiri justru mengkhianati Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana tidak dikatakan mengkhianati Tuhan, jika dalam kehidupan sehari-hari mereka jarang atau tidak pernah menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Pesan religius yang dibuat oleh para pemusik tersebut, tentu saja akan menjadi berkurang maknanya jika sang pemusik sendiri tidak melaksanakannya di kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana para pendengar mau tergerak untuk mengagungkan Tuhan, jika para pemusik itu sendiri diketahui masyarakat sebagai orang-orang yang tidak menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dengan baik?
Tapi ada baiknya pula kita harus ber-husnuzhan, berpandangan positif. Mudah-mudahan karya musik mereka betul-betul bisa memberikan inspirasi bagi para pendengarnya untuk tunduk kepada Yang Maha Kuasa. Tapi, sebelum kepada para pendengar yang menikmati karya musik mereka, terlebih dahulu seruan lirik yang mereka buat adalah pesan untuk mereka sendiri. Wallahu a’lam.
Baca selanjutnya..