Jumat, 21 November 2008

Kolonialisme Modern

Dulu para pahlawan kita dengan gagah berani melawan para penjajah, Belanda dan Jepang. Meskipun persenjataan mereka tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh pihak penjajah. Bayangkan, bambu runcing dan pedang melawan senjata api canggih dan meriam. Tapi, ternyata mereka tidak berputus asa dengan keadaan diri sendiri. Mereka tidak minder hanya karena kekuatan lawan jauh lebih besar dari kekuatan sendiri.
Mereka tetap menyadari, memang di satu sisi sang penjajah menampilkan dirinya dengan wajah yang baik-baik melalui berbagai kebijakan politik seperti politik etis dan pembangunan berbagai infrastruktur, seperti rel kereta api dan lain. Namun di sisi lain, mereka juga mengeruk habis kekayaan alam negeri ini. Mereka menyiksa anak-anak negeri dengan kerja rodi. Mereka tumpas habis tanpa ampun para pejuang yang hendak mempertahankan kehormatan negeri ini. Bagi para penjajah, orang-orang Indonesia yang melawan angkat senjata adalah para pemberontak, inlander. Namun bagi orang Indonesia sendiri, mereka adalah para pejuang terhormat.
Dan zaman pun berubah. Penjajahan secara fisik seperti dulu itu sudah lewat. Kini kita sudah menjadi negara merdeka. Ya, meskipun istilah “merdeka” itu bisa kita perdebatkan lebih lanjut. Negara-negara penjajah itu, Belanda dan Jepang, kini sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tampaknya tak ada beban sejarah atas segala kejahatan kolonialisme yang kedua negara itu lakukan terhadap negara kita. Sementara di sisi lain, kita pun tampaknya tak begitu memedulikan terhadap kejahatan kolonialisme tersebut. Dengan kata lain, mungkin kita memang betul-betul bangsa pemaaf atau bangsa yang naif dan inferior?
Kini di zaman global yang semakin menyempitkan batas-batas geografis dan kultural sebuah negara, bangsa ini pun masih saja begitu terkesan inferior di hadapan negara-negara “maju”. Harus diakui, kita memang banyak ketinggalan dalam banyak aspek: ekonomi, teknologi, militer, dan lain-lain. Namun hal itu tidaklah menjadi justifikasi atas sikap inferior kita terhadap mereka. Harus saya ingatkan lagi, para pahlawan kita dulu, tetap berani berdiri tegak melawan para penjajah meski persenjataan mereka seadanya.
Ada semacam sindrom inferority complex yang dihinggapi oleh sebagian komponen bangsa ini, terutama para pemimpin dan cendekiawannya. Lihat saja, mereka begitu takluk dengan senjata-senjata modern non fisik yang diarahkan oleh negara-negara mantan penjajah itu. Memang senjata tersebut tidak begitu terlihat nyata sebagaimana zaman dulu. Senjata-senjata kolonialisme modern sekarang bukanlah senjata api laras panjang, meriam, bazoka, dan lain-lain. Namun, senjata-senjata itu adalah berwujud pemikiran-pemikiran yang tak disadari menggerogoti kemandirian bangsa kita. Sebut saja, misalnya, pemikiran tentang demokrasi, kapitalisme liberal, HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain. Seolah semua pemikiran itu mutlak benar dan harus kita terima mentah-mentah jika ingin menjadi negara yang maju. Wow!
Demokrasi bahkan telah menjadi berhala pemikiran bagi kebanyakan cendekiawan dan pemimpin kita. “Kita harus membangun negara yang demokratis,” begitu kira-kira slogan mereka. Namun bagi saya, demokrasi hanyalah satu cara, metode, jalan dalam menentukan arah negara ini. Tujuan negara yang terpenting adalah membangun masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Jangan kita terperangkap menganggap cara sebagai tujuan. Demokrasi sekali lagi hanyalah cara, bukan tujuan.
Banyak teman-teman saya di kampus dulu yang banyak belajar di negara Barat, seperti Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan lain-lain. Saya termasuk orang yang tidak beruntung karena tidak pintar dan cerdas sehingga tidak mendapat beasiswa seperti mereka. Mungkin, ada orang yang berkata, pendapat saya hanya karena saya iri hati tidak mendapat beasiswa ke negeri-negeri Barat. Terserah saja. Tapi, saya berusaha untuk tidak menjadi orang suka iri hati. Saya harus terima keadaan saya yang masih bisa berkuliah hingga pasca sarjana di negeri ini, negeri sendiri. Masih banyak yang tidak bisa menikmati kuliah di negeri ini. Kalaupun, toh, saya mendapat beasiswa untuk belajar di negeri-negeri Barat, saya berusaha untuk tidak terpengaruh. Dalam istilah Arabnya, yakhtalithun wa la yataghayyarun.
Nah, teman-teman saya yang belajar ke negeri-negeri Barat itu pun pulang dengan pemikiran yang “tercerahkan”. Mereka datang dengan pemikiran yang menggugat ke sana kemari. Mereka membawa pemikiran-pemikiran “modern” seperti demokratisasi, HAM, kesetaraan gender, liberalisme, pluralisme, dan lain-lain. Mereka datang dengan jumawa sembari seolah hendak menyatakan, “Inilah cara pemahaman yang benar.” Wow! Kita digiring untuk mengakui bahwa pemikiran-pemikiran kita yang selama ini diyakini adalah salah dan yang benar adalah model-model pemikiran a la Barat yang mereka bawakan.
Saya pikir, teman-teman saya itu secara tidak langsung dan tanpa disadari sebenarnya sudah terjajah secara intelektual. Mereka justru membantu para penjajah modern untuk memuntahkan peluru dari senjata-senjata pemikiran mereka kepada bangsa ini. Ya, hal ini tak ubahnya seperti para wedana di zaman revolusi dulu yang bukannya membantu perjuangan rakyat Indonesia, namun justru membantu penjajah Belanda dan Jepang untuk menindas rakyat.
Secara intelektual, kita akan tertindas jika tidak mengikuti arus pola pemikiran mereka. Kita akan dikatakan ketinggalan zaman, otoriter, konservatif, dan seterusnya jika tidak mempercayai kebenaran pemikiran-pemikiran tersebut. Pendapat-pendapat yang bertentangan dengan mainstream pemikiran mereka akan dimarjinalkan. Inilah betul-betul penindasan dan penjajahan intelektual yang tidak kasat mata. Namun bisa dirasakan jika kita masih menghargai kemandirian dan harga diri bangsa. Wallahu a’lam.

Posting Komentar