Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 November 2008

Obrolan Poligami

Seorang lelaki baru saja menikahi putri seorang ulama terkenal yang berpoligami.
"Nak, saya berpesan padamu," kata si ulama yang kaya raya itu, "perlakukan istrimu dengan baik. Jangan kau menduakannya dengan berpoligami karena akan menyakiti istrimu."
"Lho, bapak sendiri kan berpoligami?! Berarti bapak juga menyakiti ibu, istri tua bapak," protes sang menantu.
"Betul, anakku. Tapi bapak telah menyadari sakitnya poligami adalah justru obat dari sakit yang jauh lebih besar, yaitu ego kepemilikan."
"Ego kepemilikan bagaimana maksud bapak?
"Hampir semua wanita tidak rela suaminya menikah lagi. Ada rasa memiliki yang kuat dalam diri wanita terhadap suaminya. Seolah suaminya adalah miliknya sendiri. Padahal tak ada apapun yang bisa kita miliki di dunia ini, termasuk suami, istri, anak, harta, jabatan, popularitas, dan lain-lain."
"Memang tidak boleh ada rasa memiliki dalam diri kita? Repot dong kalau kita tidak memiliki. Nanti bisa-bisa suami atau istri kita berselingkuh dibiarin aja."
"Hmm. Anakku, kita semua bukan pemilik. Kita semua hanyalah orang yang diberi titipan oleh Sang Pemilik sejati, Tuhan Pencipta jagat raya. Kita diberi amanat untuk menjaga dan merawat dengan sebaik-baiknya semua yang dititipkan kepada kita, baik berupa istri, suami, anak, harta, jabatan, ketenaran, dan lain-lain. Pada saatnya, rela atau tidak rela, semua itu akan diambil kembali oleh $ang Pemiliknya."
"Maaf, bapak, mohon tidak tersinggung. Apa bukan karena ingin mengikuti hawa nafsu saja orang berpoligami? Pengen cari yang muda dan cantik?"
"Ha..ha.. Bapak sudah sering dituduh begitu. Cantik dan muda hanyalah salah satu pintu untuk memasuki tujuan yang lebih agung. Pintu itu sah adanya dan orang boleh memasukinya. Namun sekali lagi, ia tetaplah pintu, bukan isi rumah sesungguhnya."
"Ngomong-ngomong, kenapa Bapak meminta saya tidak berpoligami jika memang tujuan poligami seperti itu?"
"Karena Bapak tahu, putri Bapak belum mampu melepas selubung ego kepemilikan dari hatinya. Dan kau pun belum cukup kuat untuk memikul tanggung jawab yang besar dan bersikap adil jika berpoligami."
"Lantas ibu sendiri bagaimana? Ibu kan juga mungkin sakit hati dipoligami oleh Bapak. Apa ibu sudah bisa membuang ego kepemilikannya?"
"Ibu sudah mengetahui betapa penting membuang ego kepemilikan di dalam hati. Sekarang ibu sedang menjalani langsung hal itu. Tentu tidak selamanya mulus. Masih ada hal-hal manusiawi yang terjadi. Istri-istri Nabi sendiri masih suka cemburu."
"Jadi, saya boleh poligami tidak, Pak?"
"Belum saatnya, anakku. Poligami bukan datang dari keinginan pribadi yang diniatkan dari awal. Tapi lebih merupakan tuntutan keadaan. Ada misi sosial yang juga diemban. Sudahlah. Belajarlah lebih dulu."
Baca selanjutnya..

Minggu, 23 November 2008

Tentang Kartun Nabi Muhammad

Baru-baru ini umat Islam Indonesia kembali dihebohkan dengan kartun Nabi Muhammad. Adalah blog Lapotuak dan Kebohongan dari Islam yang mempublikasikan kartun tersebut. Untung saja pihak Wordpress selaku penyedia layanan kedua blog tersebut dengan sigap menutup keduanya.
Tampaknya, umat Islam tidak pernah dibiarkan tenang oleh pihak-pihak yang memendam kebencian. Baru saja umat Islam Indonesia mulai reda dari kontroversi Ahmadiyah, kini persoalan lain dimunculkan kembali. Toleransi beragama ternyata masih menjadi pemanis bibir saja. Baca selanjutnya..

Selasa, 28 Oktober 2008

Pernikahan dan Syekh Puji

Menikah adalah salah satu sunah Rasul yang patut kita ikuti sebagai orang Islam. Dengan menikah kita dikatakan telah menjalankan separuh agama. Menikah adalah salah bentuk unik ajaran Islam yang mengandung dua sisi sekaligus, duniawi dan ukhrawi, kepuasan jasmani dan kepuasan rohani; aspek individu dan aspek sosial.
Dalam pernikahan, seorang Islam menjalankan tugas-tugas duniawi dan juga tugas ukhrawi. Tugas duniawi adalah seperti bekerja mencari nafkah. Tugas ukhrawi misalnya membimbing keluarga agar bertakwa kepada Allah. Kepuasan jasmani adalah dengan berhubungan badan dan kepuasan rohani adalah dengan memperoleh kasih sayang dari pasangan masing-masing. Aspek individu adalah bahwa menikah adalah pilihan bebas seseorang namun sekaligus juga mengandung aspek sosial bahwa menikah berarti menjalin tali persaudaraan dengan banyak orang.
Menikah tidak boleh dianggap persoalan remeh-temeh kemudian seseorang bisa seenaknya menikah tanpa melihat syarat dan rukun. Menikah yang dilakukan dengan tidak memperhatikan syarat dan rukun hanya akan menjadikan pernikahan yang tidak sah dan pasangan yang melakukannya terjerembab dalam perbuatan zina.
Dalam undang-undang pernikahan No. 1 Tahun 1974, sudah diatur sedemikian rupa agar pernikahan betul-betul mencapai tujuannya, membina keluarga kekal yang sakinah mawaddah wa rahmah. Karena itulah, berbagai persyaratan pun dirumuskan agar bisa ditaati oleh rakyat.
Menikah dengan orang yang masih memiliki hubungan darah, misalnya antara paman dengan keponakan, adalah pernikahan terlarang yang jelas-jelas ditegaskan dalam Alquran. Seorang paman, baik berasal dari pihak ibu maupun ayah si calon istri, adalah terlarang untuk menikahi keponakannya Jika pernikahan seperti ini tetap dilakukan, maka pernikahan itu tidaklah ada artinya di mata hukum. Sama saja tidak menikah.
Begitu pula ketika menikah tanpa wali, maka pernikahan tersebut adalah batal demi hukum. Terlepas bahwa Imam Hanafi membolehkan nikah tanpa wali, namun hasil ijtihad para ulama Indonesia yang tertuang dalam bentuk Undang-undang Pernikahan No. Tahun 1974, jelas menyatakan bahwa pernikahan harus menggunakan wali. Hal ini semakin mempertegas bahwa pernikahan tidak hanya melibatkan antara sang suami dan sang istri semata. Tapi, juga orang lain seperti wali dan dua orang saksi.
Pernikahan yang dilakukan oleh orang yang masih di bawah umur, seperti yang terjadi pada kasus Syekh Puji di Semarang, baru-baru ini, merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan yang berlaku di negeri ini. Hal itu juga merupakan sebuah bentuk kesewenang-wenangan orang tua yang memanfaatkan kepolosan sang anak.
Pernikahan dini mempunyai resiko terjadinya perceraian karena ketidakmatangan dan ketidaksiapan mental mereka yang menikah. Jika pernikahan kemungkinan besar hanya akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan perceraian, tentu hal itu harus dicegah agar jangan sampai terjadi. Hal inilah yang mendasari mengapa undang-undang perkawinan menetapkan bahwa umur minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun dan lelaki 19 tahun.
Syekh Puji berlindung di balik pemahamannya tentang syariat yang menurutnya membolehkan menikahi anak perempuan yang masih kecil. Hal itu juga karena Nabi Muhammad sendiri menikahi Siti Aisyah ketika ia masih berumur 7 tahun. Namun pemahaman tersebut adalah sesuatu yang tidak fair. Hal itu sama saja dengan menganggap bahwa kebudayaan Arab 14 abad yang lalu saat Nabi Muhammad hidup adalah sama dengan kebudayaan modern saat ini.
Saat itu, pernikahan dengan anak perempuan seusia Siti Aisyah adalah sesuatu yang sangat lumrah, bukan sesuatu yang aneh. Tak ada sekolah formal seperti saat sekarang yang membuat anak-anak perempuan bisa menghabiskan masa kecilnya di sekolah. Tidak usah jauh-jauh, pada zaman penjajahan saja, ketika pendidikan adalah sesuatu yang mewah dan hanya diperuntukkan untuk orang-orang kaya, saat itu banyak perempuan yang menikah di usia 13-15 tahun. Karena itulah, adalah sangat naif jika menyamaratakan kebudayaan Arab 14 abad silam dengan kebudayaan modern saat ini.
Karena termasuk ibadah yang mempunyai nilai sakral, pernikahan pun tidak boleh dilakukan untuk tujuan main-main. Ketika memutuskan untuk menikah, maka tujuannya adalah untuk membina keluarga yang kekal, bukan untuk membangun keluarga yang hanya akan bercerai dalam jangka waktu pendek. Untuk itulah, persiapan mental, spiritual, dan material, harus betul-betul dimiliki oleh orang yang hendak menikah.
Banyak kasus di masyarakat kita yang terjadi. Pernikahan dilakukan hanya untuk menutupi malu karena si perempuan sudah hamil lebih dulu. Padahal saat itu, sang pengantin masih dalam usia dini. Tak ayal, kebanyakan pernikahan dilakukan di usia dini hanya akan berakhir dengan perceraian. Saat itulah, hubungan keluarga pun menjadi retak. Luka di hati yang ditimbulkan pun tidak mudah untuk diobati. Jika anak lahir, anak pun menjadi korban. Hal inilah yang harus betul-betul diperhatikan jika memang kita hendak menikahkan anak kita.
Pergaulan bebas anak memang berisiko besar terjadinya kehamilan di luar nikah yang akhirnya memaksa terjadinya pernikahan dini. Untuk itulah, pendidikan nilai-nilai agama dan pengawasan terhadap pergaulan anak merupakan hal yang mutlak diperhatikan oleh orang tua yang masih menghendaki anaknya selamat di dunia dan akhirat. Jangan sampai anak-anak kita terperosok ke dalam hubungan seksual di luar nikah.
Hubungan seksual dalam Islam adalah sesuatu sakral, suci, dan bagian dari ibadah. Karena itulah, ada etika yang harus dilakukan bagi setiap orang yang hendak melakukannya. Hubungan seksual hanya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai dalam lembaga pernikahan yang sah. Hubungan seksual tidaklah dipahami hanya sebagai kebutuhan biologis layaknya buang air kecil. Namun ia harus dipahami lebih tinggi dan mulia daripada sekedar pemahaman seperti itu. Hubungan seksual dalam Islam juga bertujuan sebagai media mencurahkan rasa kasih sayang kepada pasangan masing-masing. Karena itulah, saat hubungan seksual selesai dilakukan, ada perasaan kasih sayang yang semakin erat mengikat antara keduanya.
Baca selanjutnya..

Jumat, 24 Oktober 2008

Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ)

Tiga hari ini, saya mengikuti kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten Indramayu yang ke-41 sebagai official. Banyak hal yang kulihat dan kurasakan. Ternyata acara tingkat kabupaten itu, tidak layak dikatakan sebagai lomba tingkat kabupaten tapi tingkat Jawa Barat dan Banten. Para peserta datang dari berbagai penjuru dari daerah di Jawa Barat dan Banten. Para peserta dari luar Indramayu itu merupakan para jawara yang sebagian sudah malang melintang di MTQ tingkat nasional.
Apa yang kemudian terjadi? Tak ayal, para peserta lokal Indramayu yang tidak memiliki pengalaman bertanding, pasti tersingkir oleh para jawara dari luar Indramayu itu. Pada gilirannya, fenomena peserta pesanan dari luar itu menimbulkan suasana bertanding yang tidak sehat. Siapa yang berani membayar besar dan mau mengeluarkan modal banyak, merekalah yang akan menyabet banyak medali. Kecamatan yang tidak berani mengeluarkan modal, jangan berharap bisa menyabet banyak medali.
Hal ini mestinya menjadi perhatian para pemerhati dunia MTQ di Indramayu. Betatapun fenomena peserta dari luar itu sudah tidak sehat lagi. Menurut pengamatan saya, hampir 50 % lebih para peserta itu dari luar Indramayu. Hal ini akan membunuh potensi lokal. Di samping itu, pembinaan MTQ dari pihak Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) juga terlihat tidak berjalan dengan baik. Jika berjalan dengan baik, tentu potensi-potensi lokal yang selama ini sudah terlihat bisa dibina dengan baik.
Indramayu sendiri sebenarnya banyak memiliki mantan jawara MTQ di tingkat provinsi maupun nasional. Sayang sekali, pembinaan memang belum berjalan. Meskipun sebenarnya Bupati Yance sendiri memiliki komitmen untuk mengembangkan potensi lokal. Bahkan konon LPTQ Indramayu sudah diberi dana besar oleh pihak Pemkab Indraayu untuk melakukan pembinaan. Sayang sekali, LPTQ tak lebih dari sebuah organisasi yang kerjanya hanya pada saat MTQ berlangsung saja. Kegiatan pembinaan tidak berjalan dengan baik, atau malah tidak berjalan sama sekali.
Semoga hal ini bisa menjadi perhatian bagi seluruh pihak yang terkait. Indramayu mestinya bisa berbicara banyak di tingkat provinsi bahkan nasional, jika pembinaan potensi lokal berjalan dengan baik. Kalau perlu, para pelatih didatangkan dari luar Indramayu untuk memperkuat para pelatih yang sudah ada. Wallahu a'lam.
Baca selanjutnya..

Senin, 29 September 2008

Shalat Berjamaah: Latihan Kepemimpinan dalam Islam

Kemarin malam, saya shalat tarawih di mushalla belakang rumah saya. Yang menjadi imam adalah paman saya yang usianya hampir 70 tahun. Saya sendiri berdiri tepat di belakang beliau. Saat itu, saya akui saya kurang khusyuk dalam shalat. Ketika sang imam kurang rakaatnya, saya pun jadi ragu-ragu untuk mengingatkan beliau. Walhasil, shalat pun diakhiri dengan jumlah rakaatnya yang kurang dari semestinya. Dus kesalahan imam harus ditanggung oleh seluruh makmum shalat tarawih saat itu. Orang-orang pun mengkritik saya yang tidak mengingatkan sang imam. Ah, memang tidak mudah untuk senantiasa khusyuk dalam shalat.
Dari kejadian tersebut, saya pun jadi tercenung. Ya, mencermati bagaimana orang Islam melaksanakan shalat berjamaah, adalah suatu yang menarik. Dalam ibadah tersebut, tercermin bagaimana memilih seorang pemimpin; bagaimana sang pemimpin melaksanakan kepemimpinannya; bagaimana rakyat menghadapi pemimpin mereka.
Sungguh indah ibadah shalat berjamaah. Orang Islam tidak hanya dididik untuk mengagungkan Tuhan, tapi juga bagaimana ia bersikap di tengah masyarakat. Mari kita perhatikan baik-baik. Dalam hukum Islam, imam shalat berjamaah adalah dipilih dari orang terbaik yang memang layak untuk memimpin shalat. Ia harus memiliki pengetahuan agama yang cukup, memiliki bacaan yang fasih, suaranya keras, berperilaku yang baik, dan lain-lain.
Hal ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan bahwa kita tidak boleh ceroboh dalam memilih pemimpin. Orang yang kita tunjuk sebagai pemimpin adalah orang berkualitas yang memang memiliki kualifikasi sebagai pemimpin yang baik. Pemimpin adalah orang yang betul-betul cakap, mampu, dan amanah untuk mengemban amanat dari rakyat.
Seorang imam dalam shalat berjamaah adalah juga seorang pemimpin yang harus ditaati oleh para makmumnya. Setiap perintah dan aba-aba sang imam harus diikuti oleh para makmum. Tidak boleh para makmum mendahului atau tidak segera mengikuti perintah yang diberikan sang imam. Hal ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan kepada orang-orang Islam untuk menaati pemimpin mereka; menaati hukum yang telah ditetapkan oleh sang pemimpin.
Meski kita diajarkan untuk menaati sang pemimpin, shalat berjamaah juga mengajarkan bagaimana rakyat boleh bahkan harus mengoreksi sang pemimpin jika melakukan kesalahan. Dalam shalat berjamaah, jika seorang imam salah dalam membaca Surah Alquran atau keliru dalam jumlah rakaat, misalnya, maka para makmum harus menegurnya dengan cara tertentu, yaitu bagi laki-laki dengan cara mengucapkan “subhanallah” dan bagi perempuan dengan cara menepukkan tangan ke tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin bukanlah malaikat yang tidak bisa melakukan kesalahan. Bahkan suatu Nabi pun pernah kesalahan dalam shalat berjamaah, sehingga beliau ditegur para makmum, lantas melakukan sujud sahwi.
Adanya tata cara tertentu dalam mengoreksi imam menunjukkan bahwa mengoreksi pemimpin harus mengikuti cara-cara tertentu yang santun dan tidak sembarangan. Hal ini agar kepemimpinan tetap berjalan dengan baik, dan shalat tetap terus dilangsungkan. Ketika kesalahan telah diperbaiki, sang imam melakukan sujud sahwi di akhir shalat, sebagai pertanda bahwa ia memang telah melakukan suatu kesalahan. Hal ini juga menunjukkan betapa seorang pemimpin harus dengan lapang dada dan berjiwa besar mengakui kesalahannya dan menerima kritikan dari rakyatnya.
Kritikan atau teguran dalam shalat berjamaah dilakukan oleh orang-orang yang berada di shaf paling depan yang paling dekat dengan imam. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus dikawal oleh orang-orang yang cakap dan memiliki pengetahuan yang berada di sekelilingnya. Karena itulah, dalam shalat berjamaah, orang-orang yang berada di shaf paling depan mestinya adalah orang-orang yang pandai dan cakap yang betul-betul bisa mengerti bagaimana seharusnya shalat dilakukan. Dengan demikian, orang-orang itu betul-betul bisa mengetahui ketika terjadi kesalahan dilakukan oleh sang imam.
Nah hal ini juga menunjukkan betapa dalam sebuah masyarakat, para tokoh dan cendekiawan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan harus berada di dekat pemimpin sehingga betul-betul bisa mengoreksi sang pemimpin jika terjadi kesalahan. Para pemimpin tidak boleh dikelilingi oleh orang-orang yang tidak cakap dan tidak mengerti bagaimana tugasnya. Jika para pembantu sang pemimpin terdiri dari orang-orang yang tidak cakap, maka masyarakat akan menjadi korban jika pemimpin melakukan kesalahan dan tidak ada yang bisa atau berani mengoreksinya.
Ketika seorang imam melakukan sesuatu yang bisa membatalkan shalatnya, misalnya, dengan berkentut, maka ia pun harus digantikan oleh orang yang berada di dekatnya yang memang cakap untuk menjadi imam pengganti. Sementara shalat berjamaah pun tetap terus bisa dilaksanakan. Hal ini menunjukkan betapa orang-orang yang berada di sekeling imam adalah orang-orang yang betul-betul mampu dan cakap sehingga jika terjadi sesuatu yang membuat sang pemimpin harus lengser dari kekuasaannya, mereka bisa menggantikannya tanpa harus menimbulkan kekacauan.
Karena shalat berjamaah memberikan peluang bagi para makmum untuk mengingatkan atau bahkan menggantikan sang imam, maka para makmum pun tidak boleh lengah atau mengantuk dalam mengawasi jalannya kepemimpinan sang imam. Hal ini menggambarkan bahwa Islam mengajarkan kepada orang-orang Islam agar tidak lengah dan lupa mengawasi jalannya pemerintahan. Orang-orang Islam tidak boleh larut dengan pikiran dan kepentingan mereka masing-masing sehingga melupakan bahwa mereka adalah bagian dari jamaah yang harus ikut mengawasi jalannya kepemimpinan. Tugas pengawasan ini terutama dilakukan oleh tokoh atau orang-orang pandai yang memang mengerti bagaimana seharusnya memimpin.
Ada satu hal lagi yang membuat ajaran shalat berjamaah menjadi begitu indah. Shalat berjamaah merupakan ajang latihan bagi kita untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kita dilatih untuk mengasah jiwa kepemimpinan. Seorang imam dituntut mampu untuk memobilisasi orang-orang agar mau shalat berjamaah. Tentu tidak mudah untuk mengajak agar orang-orang rela melakukan shalat berjamaah. Betapapun orang per orang masing-masing memiliki ego dan kepentingan bermacam-macam. Mengajak melakukan shalat berjamaah berarti mengajak orang lain untuk melepaskan ego dan kepentingannya agar sudi menjadi makmum (pengikut) di bawah komando seorang imam (pemimpin). Jika kita berhasil mengajak orang lain untuk shalat berjamaah, maka kita sudah berhasil setapak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Sebagai latihan awal, kita bisa membiasakan shalat berjamaah di lingkungan keluarga kita sendiri: istri dan anak sebagai para pengikut (makmum). .Jika kita sudah terbiasa menjadi pemimpin (imam) di lingkungan yang kecil, maka kita memiliki pengalaman untuk menjadi pemimpin di skala yang lebih besar.
Begitulah. Betapa indah ajaran Islam. Sayang sekali, orang-orang Islam sendiri banyak yang tidak menyadarinya. Wallahu a’lam.
Baca selanjutnya..

Selasa, 23 September 2008

Irshad Manji

Seorang Irshad Manji dengan bangga menyatakan dirinya seorang lesbian. Sungguh suatu fenomena yang membuat diriku bertanya-tanya: ada apa gerangan dengan feminisme? Apakah feminisme lantas melahirkan para perempuan pemberontak? Para perempuan yang memberontak terhadap tatanan norma sosial dan agamanya? Para perempuan yang membuang jauh-jauhnya kodrat mereka sebagai perempuan yang melahirkan dan mengasuh anak?

Pilihan Irshad Manji untuk menjadi seorang lesbian adalah sebuah pilihan yang sungguh berani. Lucunya, ketika dikejar dengan landasan pilihannya tersebut di dalam Alquran, ia pun akhirnya tersudut dengan hanya menjawab “Tidak tahu: apakah yang dikutuk Tuhan adalah tindakan homoseksualitas kaum Luth ataukah tindakan kekerasan seksual.” Adalah absurd menyerahkan sebuah pilihan hidup kepada sebuah ketidaktahuan.

Jika hanya Tuhan dan nurani dirinya yang menjadi sandaran hidupnya, maka ini semakin sulit untuk dimengerti. Bagaimana mungkin bisa terjadi: menjadi seorang Islam yang beriman –sebagaimana yang diklaim oleh dirinya—sementara di sisi lain ia menolak berbagai ajaran dalam Islam yang mestinya ia imani. Bagaimana ia tahu tentang cara beriman kepada Tuhan dalam Islam jika ia tidak mempercayai Alquran dan hadis Nabi? Apakah nurani dirinya selalu berada dalam kebenaran? Bagaimana mengukur kebenaran nuraninya tersebut. Sungguh suatu yang sulit dimengerti.

Jika memang Irshad Manji dengan rendah hati menyatakan betapa sedikitnya ilmu manusia dengan ilmu Tuhan, mengapa ia juga tidak dengan rendah hati mengakui bahwa ilmu Tuhan tentu lebih luas dari dirinya sehingga Tuhan menyatakan tindakan homoseksualitas kaum Luth adalah sesuatu yang keji. Ketika Tuhan sudah menyatakan homoseksualitas sebagai sesuatu yang keji, mengapa Irshad justru dengan bangga menjalani kehidupan sebagai lesbian? Bukakah hal itu sama saja dengan menentang Tuhan yang dipercayainya.

Jika betul bahwa hanya Tuhan yang dipercayainya, maka mestinya ia pun mempercayai apa yang dikatakan oleh Tuhan. Jika Tuhan telah menyatakan bahwa perbuatan homoseksual adalah tindakan yang keji, maka mengapa ia tidak dengan rendah hati mempercayai perkataan Tuhan tersebut?

Mungkin persoalannya, Irshad tidak betul-betul meyakini apakah betul bahwa Alquran adalah seluruhnya perkataan Tuhan? Jika memang Irshad tidak meyakini Alquran sebagai perkataan Tuhan, lantas dari mana lagi ia mempercayai kebenaran tentang Tuhan? Dari nuraninya? Sungguh sangat riskan jika kepercayaan terhadap Tuhan hanya dipasrahkan kepada nurani seorang manusia yang bisa salah.

Tampaknya, Irshad sendiri tidak konsisten dengan pilihannya untuk mempercayai hanya dua entitas: Tuhan dan nuraninya. Bagaimana ia mengenal Tuhan sesuai dengan ajaran Islam yang ia anut jika Alquran dan hadis tidak sepenuhnya ia percayai?

Baca selanjutnya..

Pandangan Para Ulama tentang Taqnin al-Ahkam

A. Pendahuluan

Wacana taqnin al-ahkam dalam hukum Islam merupakan salah satu persoalan yang memicu kontroversi luas di kalangan umat Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula kubu yang menentangnya, bahkan dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin al-ahkam termasuk wacana yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin hukum-hukum Islam juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk Orde Reformasi seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai daerah. Banyak perda-perda syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling banyak menyita perhatian, tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan undang-undang (qanun) Syariat tentang beberapa hal tertentu.

Fenomena perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal juga dengan gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda, terutama perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap domain privat masyarakat.

B. Pengertian Taqnin

Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1]

Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]

C. Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam

Menurut hemat penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.

Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[3] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[4]

Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[5]

Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[6]

Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[7]

D. Dasar Pemikiran Taqnin di Kalangan Ulama Klasik

Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.

Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi.[8] Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[9]

Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad: 26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[10] Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.”[11]

Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.[12]

Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat Alquran: Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[13].

E. Para Pendukung Taqnin dan Argumentasi Mereka

Mayoritas para ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14] Selain mereka, yang juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah Musthafa az-Zarqa,[15] Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.[16]

Di antara dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Surah an-Nisa: 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.... (النساء: 59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.....(QS. an-Nisa: 59).

Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut, jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.[17]

2. Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]

3. Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.

4. Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.

5. Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.

Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[19]

F. Para Penolak Taqnin dan Argumentasi Mereka

Mereka yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,[20] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[21] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam,[22] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[23] Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.

1. Allah telah memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan adil (al-qisth) dalam firman-Nya:

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)

Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah: 42).

Kata al-qisth berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.

2. Dalam menetapkan hukum, seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan prinsip tauhid, yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu karena sang hakim yang menaati undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum daripada pendapat Rasulullah yang mas’hum. Padahal Allah juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Hujurat: 1).

3. Sabda Rasulullah SAW:

Hakim itu ada tiga macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Dua, hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim ini juga masuk neraka.”[24]

Hadis di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini. Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak demikian.

4. Mengharuskan para hakim untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di zaman Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang salaf yang saleh. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti itu terjadi di zaman Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur mengusulkan kepada Imam Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan demikian, wacana taqnin adalah sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.

5. Undang-undang hukum positif yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai negara, ternyata sering kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Keputusan-keputusan pengadilan sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.

6. Keharusan untuk mengadakan taqnin akan justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan keputusan.

7. Perselisihan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah ar-Rasyidin dan para salaf saleh. Bahkan terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimana pun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Bagaimana pun, pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.

8. Ketika melongok kepada berbagai kitab fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka, tetap mereka memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat, bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[25]

G. Penutup

Dari uraian tentang pandangan para ulama yang mendukung maupun menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari alasan-alasan yang dikemukakan para ulama Arab Saudi yang menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa mereka memang cenderung dipengaruhi oleh prinsip Wahabi yang sangat menekankan untuk mengikuti (ittiba’) pada tuntunan Rasulullah SAW. Upaya taqnin al-ahkam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan oleh salafus salih.

Di samping itu, prinsip tauhid yang berlebihan juga tampak diyakini sebagian oleh ulama Arab Saudi dalam melihat taqnin al-ahkam dan kewajiban orang untuk mengikutinya. Bagi mereka, mewajibkan orang untuk hanya menaati undang-undang yang telah disahkan penguasa, berarti sesuatu sikap yang lebih mengutamakan hasil pemikiran manusia biasa yang tidak ma’shum. Hal itu bisa merusak prinsip tauhid karena Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada yang lain.

Alasan agar tidak mempersempit pilihan masyarakat sehingga mereka bisa lebih leluasa dan mempunyai banyak pilihan, merupakan salah satu alasan yang dikemukakan untuk menolak taqnin. Alasan tersebut memang bagus dan sejalan pula dengan prinsip pluralisme yang saat ini sering digembor-gemborkan kalangan Islam Liberal. Namun, hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang atau pemerintah bukanlah lantas dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Pemerintah memang berkewajiban untuk menetapkan aturan dan perundang-undangan. Sedangkan rakyat pun wajib menaati dan mengikutinya. Pada konteks bernegara dalam Islam, ketaatan kepada undang-undang atau peraturan tersebut selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Di sisi lain, harus pula diperhatikan bahwa taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain, ketika hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia pun juga bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa. Hal ini tentu saja jadi mengurangi kewibawaan hukum Islam. Keberadaan sebuah undang-undang sangat tergantung oleh kebijakan pemerintah dan para pihak berkuasa. Sebagai contoh kasus di Indonesia, bisa kita lihat bagaimana sejarah ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Banyak penentangan, baik di kalangan orang Islam sendiri maupun non Islam, yang terjadi baik sebelum maupun sesudah undang-undang itu ditetapkan dan disahkan.

Karena resiko seperti itulah, maka taqnin al-ahkam harus betul-betul melibatkan banyak pihak yang terkait. Tata cara pembentukan undang-undang (legal drafting) juga harus betul-betul diperhatikan. Dengan demikian, ketika hukum-hukum Islam itu sudah menjadi undang-undang (qanun), maka resistensi terhadapnya bisa ditekan seminimal mungkin karena untuk menafikan sama sekali resistensi, tampaknya sesuatu yang mustahil. Setiap kebijakan pasti saja menuai pro dan kontra, sebaik apapun kebijakan itu. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Dar Alam al-Kutub, 1412 H.

Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, Dar al-Fadhilah, 1426 H.

Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H.

Adz-Dzahabi, Siar A’lam an-Nubala, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.

Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.

An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Fikr.

Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.

Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.

Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, Dar Ihya at-Turats al-Arabi.

Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.

Ibrahim Anis, et. al. Al-Mu’jam al-Wasith

Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H.

Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Dar al-Qalam, 1418 H.

Swiss al-Mahamid, Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, Jam’iyyah Ummal al-Mathabi’, 1422 H.



[1] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.

[2] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.

[3] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.

[4] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha fi al-Islam, hal. 115.

[5] Siar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.

[6] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.

[7] Kitab at-Taqnin baina at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 15.

[8] Lihat, Mawahib al-Jalil, juz 8, hal. 78; al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, juz 20, hal. 128; al-Mughni, juz 14, hal. 91; Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.

[9] Majmu al-Fatawa, juz 35, hal. 357, 360, 372, dan 373.

[10] Al-Mughni, juz 14, hal. 91; al-Majmu’, juz 20, hal.128.

[11] Al-Fatawa, juz 30, hal. 79.

[12] Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.

[13] Majmu’ al-Fatawa, juz 35, hal. 361.

[14] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 260 dan seterusnya.

[15] Mushthafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 230-231.

[16] Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, hal. 438.

[17] Ibid., hal. 440.

[18] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 269.

[19] Ibid., juz 3, hal.266.

[20] Fiqh an-Nawazil, juz 1, hal. 1 dan seterusnya.

[21] Lihat pandangan beliau dalam Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.

[22] Lihat, al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.

[23] Lihat, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 31-32.

[24] Hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak.

[25] Lihat pandangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Harian al-Jazirah, loc. cit.

Baca selanjutnya..

Wakaf Air dan Bahan Bakar Minyak (BBM)

A. Islam dan Kekayaan Alam

Air dan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan dua hal yang termasuk kekayaan alam yang mestinya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Kedua hal itu merupakan termasuk kebutuhan pokok di tengah masyarakat sekarang. Kebutuhan terhadap air semakin tinggi ketika musim kemarau tiba. Begitu pula kebutuhan terhadap BBM semakin tinggi ketika banyak kegiatan-kegiatan di tengah masyarakat ditopang oleh alat-alat yang membutuhkan BBM. Kebutuhan tersebut semakin sulit dipenuhi ketika harga BBM juga kini telah dinaikkan oleh rezim yang berkuasa.

Islam sendiri mengatur bahwa ada tiga yang hal yang tidak bisa dimiliki secara individu. Dengan kata lain, masyarakat secara luas memiliki hak yang sama untuk memperolehnya. Ketiga hal itu adalah rumput, air, dan api. Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad dengan sabda beliau:, “Orang-orang Islam memiliki hak bersama terhadap tiga hal, yaitu: rumput, air, dan api.” [1]

Dalam penjelasan hadis itu, para ulama menyimpulkan bahwa ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dan tidak boleh dijualbelikan. Rumput atau tanaman yang dimaksud adalah rumput atau tanaman liar yang tumbuh di lahan tidur yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Air yang dimaksud adalah air hujan atau air dan sumber mata air atau sungai yang memang tidak ada pemiliknya. Sedangkan api adalah tanaman tertentu yang dipergunakan oleh orang Arab saat itu untuk menyalakan api.[2]

Konsep Islam yang diutarakan oleh Nabi Muhammad tersebut tentu perlu diberi pemahaman kontekstual agar bisa berlaku di zaman sekarang. Api yang dimaksud bisa saja dipahami secara kontekstual dengan bahan bakar minyak. Hal itu karena terdapat titik temu antara api dan bahan bakar minyak, yaitu pada segi bahwa keduanya mempunyai sifat membakar. Di samping itu, keduanya merupakan salah satu kebutuhan pokok di masyarakat. Titik temu yang lain adalah bahwa api dan BBM yang berasal dari minyak bumi merupakan dua hal yang tidak bisa dikuasai oleh individu.

B. Air sebagai Obyek Wakaf dalam Pembahasan Fikih

Dalam beberapa kitab fikih, air memang bisa diwakafkan. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, menyatakan bahwa air bisa menjadi obyek wakaf yang sah.[3] Meskipun juga harus digarisbawahi, pada hakikatnya yang diwakafkan adalah sumur atau sumber airnya yang diwakafkan. Jadi, obyek wakaf sesungguhnya adalah sumur atau sumber air, bukan air itu sendiri. Hal itu karena air adalah termasuk sesuatu yang habis saat dikonsumsi. Sedangkan sesuatu yang habis karena konsumsi, seperti makanan dan minuman, tidak bisa menjadi obyek wakaf.[4]

Dalam sejarah Islam, Usman bin Affan adalah orang yang pernah mewakafkan sebuah sumur yang sebelumnya dimiliki oleh seorang Yahudi. Sumur itu terletak di sebuah daerah di Madinah dan dikenal dengan nama Sumur Rumah (bi’r rumah). Setiap orang yang ingin mengambil air dari sumur itu, harus membayar dengan sejumlah harga tertentu kepada Si Yahudi. Karena melihat betapa pentingnya sumur itu, Nabi lantas menjanjikan bahwa siapapun yang bisa membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk masyarakat luas, maka ia akan memperoleh ganjaran di surga. Usman, yang memang dikenal sebagai orang kaya, akhirnya membeli sumur itu lantas mewakafkannya. Dengan demikian, setiap orang tidak perlu lagi membayar jika hendak mengambil air dari sumur tersebut.[5]

Di kalangan ulama mazhab fiqh, terdapat beberapa sedikit perbedaan tentang air sebagai obyek wakaf. Bagi kalangan ulama Syafi’iyyah, menurut Ibnu Hajar al-Haitsami, air itu sendiri tidak sah digunakan sebagai obyek wakaf.[6] Sebaliknya, Ibnu Shalah yang juga dari kalangan Syafi’iyyah, menganggap bahwa air sah sebagai obyek wakaf.[7] Namun ulama Syafi’iyyah yang lain, asy-Syarwani menerangkan bahwa yang diperbolehkan untuk diwakafkan adalah sumur, sehingga air termasuk di dalamnya air. Jadi, dalam pernyataan wakaf, yang disebutkan adalah tempatnya, seperti sumur, bukan airnya. Jika air yang disebutkan dalam pernyataan wakaf, maka tidak sah.[8]

Sedangkan menurut Imam Hambali, ketika beliau ditanya tentang wakaf air, hal itu adalah diperbolehkan jika memang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Oleh Ibnu Muflih, dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal tersebut, adalah air itu sendiri.[9]. Namun oleh ulama Hambaliyah yang lain, seperti al-Haritsi, yang dimaksud bukanlah air itu sendiri, tapi tempat keluarnya air. Air mustahil menjadi obyek wakaf, karena dua hal yaitu pertama air bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki karena ia senantiasa memperbaharui diri, dan kedua air adalah sesuatu yang habis jika dimanfaatkan, padahal benda wakaf haruslah sesuatu yang pokoknya tidak habis jika dipergunakan.[10] Pandangan al-Haritsi ini ditentang oleh al-Mardawi, yang menyatakan bahwa dalam masalah wakaf air ini, yang menjadi pokok adalah sumurnya. Tidak masalah air habis saat digunakan karena air tersebut akan digantikan dengan air yang baru. Dengan demikian, tetap diperbolehkan mewakafkan air.[11]

Bagi mazhab Maliki, juga boleh mewakafkan air yang dipergunakan untuk mandi, wudlu, dan minum.[12] Jika memang dipergunakan untuk kepentingan umum dan keagamaan, tempat yang menjadi sarana munculnya air bisa digunakan sebagai obyek wakaf.[13]

Sedangkan menurut logika ulama Hanafi, wakaf dan sedekah adalah bentuk kebajikan yang diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin sebagai wujud keinginan untuk mendekat diri kepada Allah. Orang kaya tersebut sudah merasa cukup terhadap obyek yang diwakafkan. Sementara air adalah sesuatu yang diperlukan oleh orang banyak, baik orang kaya maupun orang miskin. Air tidak hanya diperlukan oleh orang miskin. Di samping itu, sebelum dikuasai sumber atau sumurnya, air bukanlah harta benda yang bisa diwakafkan. Jika seorang yang mewakafkan sumur minum tidak tegas mengkhususkan untuk orang miskin dalam pernyataan wakafnya, maka wakaf itu tidak sah. Namun jika ia mengkhususkan hanya untuk orang miskin, meskipun pada kenyataannya dimanfaatkan pula oleh orang kaya, maka wakaf itu sah.[14]

C. Minyak sebagai Obyek Wakaf dalam Pembahasan Fikih

Menurut Wahbah az-Zuhaili, minyak yang digunakan untuk penerangan mesjid bisa dijadikan sebagai obyek wakaf, karena penerangan masjid adalah sesuatu yang dianjurkan (mandub).[15] Kalangan ulama Syafi’iyyah, seperti Imama Nawawi, juga membolehkan wakaf demikian, dan penerangan itu boleh dilakukan sepanjang malam.[16] Bagi kalangan Hanafi, wakaf minyak untuk penerangan mesjid diperbolehkan, tapi penerangan tersebut tidak boleh sepanjang malam, hanya seperlunya untuk keperluan ibadah.[17]

Sementara kalangan Maliki, seperti al-Kharasyi, juga membolehkan mewakafkan minyak yang digunakan untuk penerangan masjid.[18] Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu tokoh ulama di kalangan mazhab Hambali, membolehkan wakaf minyak yang digunakan untuk penerangan masjid. Tapi, tidak boleh jika digunakan untuk penerangan kuburan.[19] Meski sama-sama dari mazhab Hambali, as-Suyuthi ar-Rahibani justru melarang mewakafkan minyak meskipun untuk penerangan mesjid.[20]

D. Air dan BBM dalam Undang-undang Wakaf di Indonesia

Dalam Undang-undang Wakaf No 41 Tahun 2004, memang belum disebutkan secara eksplisit bahwa air dan BBM bisa dijadikan sebagai obyek wakaf. Namun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Wakaf No 41 Tahun 2004 tersebut, disebutkan secara tegas pada pasal 19 ayat 3 bahwa air dan BBM bisa dijadikan sebagai obyek wakaf.[21] Namun kriteria dan teknis wakaf tersebut masih belum ada penjelasan yang lebih detil. Masukan dan input dari masyarakat perlu diakomodir oleh para legislator agar peraturan tersebut bisa diterapkan di tengah masyarakat.

E. Aplikasi Wakaf Air dan BBM

Dalam pembahasan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang menjadi obyek wakaf adalah sarana untuk memperoleh air, yaitu sumur, jadi bukan air itu sendiri. Sedangkan air hujan, air sungai, air laut, air dari sumber mata air alami, tidak bisa diwakafkan, karena ia memang sudah menjadi milik publik. Air demikian, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, merupakan rahmat Allah yang boleh diakses oleh siapa pun.[22]

Sementara di zaman modern yang semakin canggih ilmu pengetahuan dan teknologi, air tidak selalu didapatkan secara konvensional seperti dari sumur yang digali, sumber mata air alami, sungai atau laut. Dengan peralatan yang semakin modern, air bisa diperoleh dengan menggunakan mesin pompa dan menghasilkan kualitas air yang baik. Sumur dan alat pompa tersebut, baik yang menggunakan listrik maupun tangan, bisa dijadikan obyek wakaf. Selanjutnya, pengelolaannya bisa diserahkan kepada nazhir sebagaimana layaknya obyek wakaf umumnya. Namun yang juga harus digarisbawahi, pengelolaannya tidak boleh bersifat komersial karena hal itu bisa mengurangi nilai ibadah dari sang waqif.

Selanjutnya, wakaf BBM bisa dianalogikan dengan wakaf minyak untuk penerangan mesjid sebagaimana yang diperbolehkan oleh para ulama. Dengan semakin meningkatnya teknologi, saat ini nyaris tidak ada mesjid yang menggunakan penerangan dari lampu minyak. Listrik yang sudah masuk hingga ke pelosok desa telah mengganti peran lampu minyak. Karena itulah, wakaf minyak untuk penerangan mesjid tidak lagi relevan untuk zaman sekarang.

Minyak yang kini banyak dibutuhkan adalah yang termasuk dalam Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara BBM tersebut berasal dari sumber minyak bumi yang termasuk kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, sesuai dengan UU No 22 Tahun 2001.[23] Dengan demikian, yang lebih tepat untuk dijadikan sebagai obyek wakaf pada hakikatnya bukanlah minyak itu sendiri, tapi tempat usaha penjualan BBM, yaitu Stasiun Penjualan Bahan Bakar Umum (SPBU). Hasil penjualan dari bahan bakar itulah yang kemudian diwakafkan untuk masyarakat luas. Dengan demikian, SPBU tersebut tetap bisa beroperasi dalam jangka waktu lama demi kemaslahatan umat.


DAFTAR PUSTAKA

Abd as-Salam bin Abdullah bin Ali bin Taimiyyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah, (Beirut: Dar Alam al-Kutub, tt.).

Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hawasyi a-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,.

Ahmad bin Ghanim an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah al-Qayrawani,(Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Barakat ad-Dardiri, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir.

Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitsami, Fatawa Ibn Hajar al-Haitsami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983).

Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

Mahmud bin Ahmad bin ash-Shadr an-Najjari, al-Jauharah an-Nayyirah.

Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, Manhaj al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, (Damaskus: Dar ash-Shadir, tt).

Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).

Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Bigha (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987).

Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisi, al-Mabda’ Syarh al-Maqna’, (tk: al-Maktab al-Islami, 1988).

Muhammad bin Yazid bin Abdullah al-Quzwaini, Sunan bin Majah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).

Musthafa bin S’ad bin Abduh ar-Rahibani, Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, dalam al-Marja al-Kabir, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989).

Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlah ‘ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).

Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat ad-Din.

http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/22-01.pdf.



[1] Muhammad bin Yazid bin Abdullah al-Quzwaini, Sunan bin Majah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 2, hal. 826.

[2] Ibid.

[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), juz 8, hal. 188.

[4] Ibid.

[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Bigha (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987), juz 3, hal. 1021.

[6] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitsami, Fatawa Ibn Hajar al-Haitsami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz 3, hal. 335.

[7] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat ad-Din, juz. 3, hal. 157.

[8] Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hawasyi a-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 1, hal. 210.

[9] Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisi, al-Mabda’ Syarh al-Maqna’, (tk: al-Maktab al-Islami, 1988), juz 5, hal. 316.

[10] Ibid.

[11] Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), juz 7, hal. 3.

[12] Ahmad bin Ghanim an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah al-Qayrawani,(Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), juz 2, hal. 263.

[13] Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Barakat ad-Dardiri, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, juz 4, hal. 79.

[14] Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), juz 4, hal. 532-533.

[15] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, loc. cit.

[16] Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlah ‘ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 3, hal. 157.

[17] Mahmud bin Ahmad bin ash-Shadr an-Najjari, al-Jauharah an-Nayyirah, juz 6, hal. 211.

[18] Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, Manhaj al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, (Damaskus: Dar ash-Shadir, tt.), juz 4, hal. 33.

[19] Abd as-Salam bin Abdullah bin Ali bin Taimiyyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah, (Beirut: Dar Alam al-Kutub, tt.), juz 31, hal. 205.

[20] Musthafa bin S’ad bin Abduh ar-Rahibani, Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, dalam al-Marja al-Kabir, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

[21] www.bapeda.pemda-diy.go.id/pustaka/pp_no_42_th_2006.pdf

[22] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

[23] http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/22-01.pdf.

Baca selanjutnya..