Selasa, 23 September 2008

Wakaf Air dan Bahan Bakar Minyak (BBM)

A. Islam dan Kekayaan Alam

Air dan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan dua hal yang termasuk kekayaan alam yang mestinya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Kedua hal itu merupakan termasuk kebutuhan pokok di tengah masyarakat sekarang. Kebutuhan terhadap air semakin tinggi ketika musim kemarau tiba. Begitu pula kebutuhan terhadap BBM semakin tinggi ketika banyak kegiatan-kegiatan di tengah masyarakat ditopang oleh alat-alat yang membutuhkan BBM. Kebutuhan tersebut semakin sulit dipenuhi ketika harga BBM juga kini telah dinaikkan oleh rezim yang berkuasa.

Islam sendiri mengatur bahwa ada tiga yang hal yang tidak bisa dimiliki secara individu. Dengan kata lain, masyarakat secara luas memiliki hak yang sama untuk memperolehnya. Ketiga hal itu adalah rumput, air, dan api. Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad dengan sabda beliau:, “Orang-orang Islam memiliki hak bersama terhadap tiga hal, yaitu: rumput, air, dan api.” [1]

Dalam penjelasan hadis itu, para ulama menyimpulkan bahwa ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dan tidak boleh dijualbelikan. Rumput atau tanaman yang dimaksud adalah rumput atau tanaman liar yang tumbuh di lahan tidur yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Air yang dimaksud adalah air hujan atau air dan sumber mata air atau sungai yang memang tidak ada pemiliknya. Sedangkan api adalah tanaman tertentu yang dipergunakan oleh orang Arab saat itu untuk menyalakan api.[2]

Konsep Islam yang diutarakan oleh Nabi Muhammad tersebut tentu perlu diberi pemahaman kontekstual agar bisa berlaku di zaman sekarang. Api yang dimaksud bisa saja dipahami secara kontekstual dengan bahan bakar minyak. Hal itu karena terdapat titik temu antara api dan bahan bakar minyak, yaitu pada segi bahwa keduanya mempunyai sifat membakar. Di samping itu, keduanya merupakan salah satu kebutuhan pokok di masyarakat. Titik temu yang lain adalah bahwa api dan BBM yang berasal dari minyak bumi merupakan dua hal yang tidak bisa dikuasai oleh individu.

B. Air sebagai Obyek Wakaf dalam Pembahasan Fikih

Dalam beberapa kitab fikih, air memang bisa diwakafkan. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, menyatakan bahwa air bisa menjadi obyek wakaf yang sah.[3] Meskipun juga harus digarisbawahi, pada hakikatnya yang diwakafkan adalah sumur atau sumber airnya yang diwakafkan. Jadi, obyek wakaf sesungguhnya adalah sumur atau sumber air, bukan air itu sendiri. Hal itu karena air adalah termasuk sesuatu yang habis saat dikonsumsi. Sedangkan sesuatu yang habis karena konsumsi, seperti makanan dan minuman, tidak bisa menjadi obyek wakaf.[4]

Dalam sejarah Islam, Usman bin Affan adalah orang yang pernah mewakafkan sebuah sumur yang sebelumnya dimiliki oleh seorang Yahudi. Sumur itu terletak di sebuah daerah di Madinah dan dikenal dengan nama Sumur Rumah (bi’r rumah). Setiap orang yang ingin mengambil air dari sumur itu, harus membayar dengan sejumlah harga tertentu kepada Si Yahudi. Karena melihat betapa pentingnya sumur itu, Nabi lantas menjanjikan bahwa siapapun yang bisa membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk masyarakat luas, maka ia akan memperoleh ganjaran di surga. Usman, yang memang dikenal sebagai orang kaya, akhirnya membeli sumur itu lantas mewakafkannya. Dengan demikian, setiap orang tidak perlu lagi membayar jika hendak mengambil air dari sumur tersebut.[5]

Di kalangan ulama mazhab fiqh, terdapat beberapa sedikit perbedaan tentang air sebagai obyek wakaf. Bagi kalangan ulama Syafi’iyyah, menurut Ibnu Hajar al-Haitsami, air itu sendiri tidak sah digunakan sebagai obyek wakaf.[6] Sebaliknya, Ibnu Shalah yang juga dari kalangan Syafi’iyyah, menganggap bahwa air sah sebagai obyek wakaf.[7] Namun ulama Syafi’iyyah yang lain, asy-Syarwani menerangkan bahwa yang diperbolehkan untuk diwakafkan adalah sumur, sehingga air termasuk di dalamnya air. Jadi, dalam pernyataan wakaf, yang disebutkan adalah tempatnya, seperti sumur, bukan airnya. Jika air yang disebutkan dalam pernyataan wakaf, maka tidak sah.[8]

Sedangkan menurut Imam Hambali, ketika beliau ditanya tentang wakaf air, hal itu adalah diperbolehkan jika memang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Oleh Ibnu Muflih, dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal tersebut, adalah air itu sendiri.[9]. Namun oleh ulama Hambaliyah yang lain, seperti al-Haritsi, yang dimaksud bukanlah air itu sendiri, tapi tempat keluarnya air. Air mustahil menjadi obyek wakaf, karena dua hal yaitu pertama air bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki karena ia senantiasa memperbaharui diri, dan kedua air adalah sesuatu yang habis jika dimanfaatkan, padahal benda wakaf haruslah sesuatu yang pokoknya tidak habis jika dipergunakan.[10] Pandangan al-Haritsi ini ditentang oleh al-Mardawi, yang menyatakan bahwa dalam masalah wakaf air ini, yang menjadi pokok adalah sumurnya. Tidak masalah air habis saat digunakan karena air tersebut akan digantikan dengan air yang baru. Dengan demikian, tetap diperbolehkan mewakafkan air.[11]

Bagi mazhab Maliki, juga boleh mewakafkan air yang dipergunakan untuk mandi, wudlu, dan minum.[12] Jika memang dipergunakan untuk kepentingan umum dan keagamaan, tempat yang menjadi sarana munculnya air bisa digunakan sebagai obyek wakaf.[13]

Sedangkan menurut logika ulama Hanafi, wakaf dan sedekah adalah bentuk kebajikan yang diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin sebagai wujud keinginan untuk mendekat diri kepada Allah. Orang kaya tersebut sudah merasa cukup terhadap obyek yang diwakafkan. Sementara air adalah sesuatu yang diperlukan oleh orang banyak, baik orang kaya maupun orang miskin. Air tidak hanya diperlukan oleh orang miskin. Di samping itu, sebelum dikuasai sumber atau sumurnya, air bukanlah harta benda yang bisa diwakafkan. Jika seorang yang mewakafkan sumur minum tidak tegas mengkhususkan untuk orang miskin dalam pernyataan wakafnya, maka wakaf itu tidak sah. Namun jika ia mengkhususkan hanya untuk orang miskin, meskipun pada kenyataannya dimanfaatkan pula oleh orang kaya, maka wakaf itu sah.[14]

C. Minyak sebagai Obyek Wakaf dalam Pembahasan Fikih

Menurut Wahbah az-Zuhaili, minyak yang digunakan untuk penerangan mesjid bisa dijadikan sebagai obyek wakaf, karena penerangan masjid adalah sesuatu yang dianjurkan (mandub).[15] Kalangan ulama Syafi’iyyah, seperti Imama Nawawi, juga membolehkan wakaf demikian, dan penerangan itu boleh dilakukan sepanjang malam.[16] Bagi kalangan Hanafi, wakaf minyak untuk penerangan mesjid diperbolehkan, tapi penerangan tersebut tidak boleh sepanjang malam, hanya seperlunya untuk keperluan ibadah.[17]

Sementara kalangan Maliki, seperti al-Kharasyi, juga membolehkan mewakafkan minyak yang digunakan untuk penerangan masjid.[18] Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu tokoh ulama di kalangan mazhab Hambali, membolehkan wakaf minyak yang digunakan untuk penerangan masjid. Tapi, tidak boleh jika digunakan untuk penerangan kuburan.[19] Meski sama-sama dari mazhab Hambali, as-Suyuthi ar-Rahibani justru melarang mewakafkan minyak meskipun untuk penerangan mesjid.[20]

D. Air dan BBM dalam Undang-undang Wakaf di Indonesia

Dalam Undang-undang Wakaf No 41 Tahun 2004, memang belum disebutkan secara eksplisit bahwa air dan BBM bisa dijadikan sebagai obyek wakaf. Namun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Wakaf No 41 Tahun 2004 tersebut, disebutkan secara tegas pada pasal 19 ayat 3 bahwa air dan BBM bisa dijadikan sebagai obyek wakaf.[21] Namun kriteria dan teknis wakaf tersebut masih belum ada penjelasan yang lebih detil. Masukan dan input dari masyarakat perlu diakomodir oleh para legislator agar peraturan tersebut bisa diterapkan di tengah masyarakat.

E. Aplikasi Wakaf Air dan BBM

Dalam pembahasan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang menjadi obyek wakaf adalah sarana untuk memperoleh air, yaitu sumur, jadi bukan air itu sendiri. Sedangkan air hujan, air sungai, air laut, air dari sumber mata air alami, tidak bisa diwakafkan, karena ia memang sudah menjadi milik publik. Air demikian, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, merupakan rahmat Allah yang boleh diakses oleh siapa pun.[22]

Sementara di zaman modern yang semakin canggih ilmu pengetahuan dan teknologi, air tidak selalu didapatkan secara konvensional seperti dari sumur yang digali, sumber mata air alami, sungai atau laut. Dengan peralatan yang semakin modern, air bisa diperoleh dengan menggunakan mesin pompa dan menghasilkan kualitas air yang baik. Sumur dan alat pompa tersebut, baik yang menggunakan listrik maupun tangan, bisa dijadikan obyek wakaf. Selanjutnya, pengelolaannya bisa diserahkan kepada nazhir sebagaimana layaknya obyek wakaf umumnya. Namun yang juga harus digarisbawahi, pengelolaannya tidak boleh bersifat komersial karena hal itu bisa mengurangi nilai ibadah dari sang waqif.

Selanjutnya, wakaf BBM bisa dianalogikan dengan wakaf minyak untuk penerangan mesjid sebagaimana yang diperbolehkan oleh para ulama. Dengan semakin meningkatnya teknologi, saat ini nyaris tidak ada mesjid yang menggunakan penerangan dari lampu minyak. Listrik yang sudah masuk hingga ke pelosok desa telah mengganti peran lampu minyak. Karena itulah, wakaf minyak untuk penerangan mesjid tidak lagi relevan untuk zaman sekarang.

Minyak yang kini banyak dibutuhkan adalah yang termasuk dalam Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara BBM tersebut berasal dari sumber minyak bumi yang termasuk kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, sesuai dengan UU No 22 Tahun 2001.[23] Dengan demikian, yang lebih tepat untuk dijadikan sebagai obyek wakaf pada hakikatnya bukanlah minyak itu sendiri, tapi tempat usaha penjualan BBM, yaitu Stasiun Penjualan Bahan Bakar Umum (SPBU). Hasil penjualan dari bahan bakar itulah yang kemudian diwakafkan untuk masyarakat luas. Dengan demikian, SPBU tersebut tetap bisa beroperasi dalam jangka waktu lama demi kemaslahatan umat.


DAFTAR PUSTAKA

Abd as-Salam bin Abdullah bin Ali bin Taimiyyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah, (Beirut: Dar Alam al-Kutub, tt.).

Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hawasyi a-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,.

Ahmad bin Ghanim an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah al-Qayrawani,(Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Barakat ad-Dardiri, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir.

Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitsami, Fatawa Ibn Hajar al-Haitsami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983).

Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

Mahmud bin Ahmad bin ash-Shadr an-Najjari, al-Jauharah an-Nayyirah.

Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, Manhaj al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, (Damaskus: Dar ash-Shadir, tt).

Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).

Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Bigha (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987).

Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisi, al-Mabda’ Syarh al-Maqna’, (tk: al-Maktab al-Islami, 1988).

Muhammad bin Yazid bin Abdullah al-Quzwaini, Sunan bin Majah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).

Musthafa bin S’ad bin Abduh ar-Rahibani, Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, dalam al-Marja al-Kabir, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989).

Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlah ‘ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).

Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat ad-Din.

http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/22-01.pdf.



[1] Muhammad bin Yazid bin Abdullah al-Quzwaini, Sunan bin Majah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 2, hal. 826.

[2] Ibid.

[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), juz 8, hal. 188.

[4] Ibid.

[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Bigha (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987), juz 3, hal. 1021.

[6] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitsami, Fatawa Ibn Hajar al-Haitsami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz 3, hal. 335.

[7] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat ad-Din, juz. 3, hal. 157.

[8] Abdul Hamid Asy-Syarwani, Hawasyi a-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 1, hal. 210.

[9] Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisi, al-Mabda’ Syarh al-Maqna’, (tk: al-Maktab al-Islami, 1988), juz 5, hal. 316.

[10] Ibid.

[11] Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), juz 7, hal. 3.

[12] Ahmad bin Ghanim an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah al-Qayrawani,(Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), juz 2, hal. 263.

[13] Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Barakat ad-Dardiri, Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, juz 4, hal. 79.

[14] Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), juz 4, hal. 532-533.

[15] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, loc. cit.

[16] Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlah ‘ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 3, hal. 157.

[17] Mahmud bin Ahmad bin ash-Shadr an-Najjari, al-Jauharah an-Nayyirah, juz 6, hal. 211.

[18] Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, Manhaj al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, (Damaskus: Dar ash-Shadir, tt.), juz 4, hal. 33.

[19] Abd as-Salam bin Abdullah bin Ali bin Taimiyyah, Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah, (Beirut: Dar Alam al-Kutub, tt.), juz 31, hal. 205.

[20] Musthafa bin S’ad bin Abduh ar-Rahibani, Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, dalam al-Marja al-Kabir, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

[21] www.bapeda.pemda-diy.go.id/pustaka/pp_no_42_th_2006.pdf

[22] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar, (Syirkah al-Aris li Kumbutar, tt).

[23] http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2001/22-01.pdf.

Posting Komentar