Sabtu, 20 September 2008

Pernikahan Lintas Agama di Mataku

Islam merupakan agama yang mempunyai misi penyelamatan terhadap alam semesta. Islam sendiri, salah satu artinya, adalah keselamatan yang diambil dari akar kata salam. Karena itulah, ajaran-ajaran Islam pun bermuara pada tujuan untuk memberikan keselamatan bagi para pemeluknya, bahkan alam semesta di sekelilingnya.

Keselamatan yang dimaksud tersebut tentu saja harus dimaknai secara luas, tidak hanya selamat secara fisik, tapi juga secara mental dan psikologis; selamat di dunia dan akhirat. Salah satu makna keselamatan yang menjadi tujuan Islam itu adalah bahwa agar jangan sampai para pemeluk agama Islam terperosok ke dalam berbagai persoalan-persoalan yang justru akan merugikan dirinya. Agar tidak terjadi demikian, Islam pun menetapkan ajaran-ajarannya sebagai tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah) sehingga orang Islam pun tidak sampai terjerumus ke dalam berbagai masalah dan musibah.

Karena tujuan penyelamatan itulah, Allah tidaklah bermaksud untuk mengekang kebebasan manusia dan menzalimi mereka saat Ia menetapkan hukum-hukum-Nya. Dengan sifat kasih sayang-Nya, Tuhan justru hendak menyelamatkan manusia saat menetapkan aturan-aturan-Nya. Tapi, andaikan manusia bersikukuh tidak menyetujui dan tidak mempercayai atau bahkan tidak mengikuti aturan-aturan-Nya, Tuhan tetaplah Tuhan. Tidak sedikit pun berkurang kekuasaan dan rahmat-Nya kepada manusia. Kekuasaan dan kedudukan-Nya sebagai Tuhan tidak bergeming sedikit pun hanya karena ada manusia yang tidak menyetujui aturan-aturan-Nya. Kalau Tuhan mau, Ia pun Maha Kuasa untuk menciptakan semua manusia untuk taat kepada-Nya sebagaimana seperti yang terjadi pada malaikat.

Dalam konteks itulah, maka saya pun memahami ayat: janganlah kalian menikahkan para perempuan mukmin dengan para lelaki musyrik. Orang-orang Katolik yang terdapat di Indonesia sepengetahuan saya meyakini bahwa Isa adalah juga Tuhan selain Allah. Padahal Islam meyakini bahwa Isa adalah hanya sekedar nabi pembawa pesan-pesan Tuhan. Meyakini bahwa ada tuhan lain selain Allah adalah jelas-jelas bentuk syirik dalam Islam. Dengan demikian, orang yang meyakini itu adalah tergolong musyrik.

Adapun ayat lain yang menyatakan bahwa perempuan terhormat dari ahli kitab adalah halal untuk dinikahi, maka ayat itu adalah saling melengkapi. Dalam penalaran saya, hal itu bisa dipahami bahwa sepanjang ahli kitab tidak musyrik dengan meyakini adanya tuhan lain selain Allah, maka tentu saja ia halal untuk dinikahi.

Namun yang juga harus digarisbawahi bahwa yang dihalalkan dalam ayat itu adalah pernikahan antara seorang perempuan ahli kitab dengan seorang lelaki mukmin, dan bukan sebaliknya pernikahan antara seorang lelaki ahli kitab dengan seorang perempuan mukmin. Tidak ada preseden yang pernah terjadi di zaman Nabi dan para sahabat bahwa seorang lelaki musyrik dibolehkan mengawini seorang perempuan mukmin. Bahkan, Nabi justru menyuruh mereka untuk bercerai jika seorang perempuan masuk Islam sementara sang suami masih seorang musyrik.

Memaksakan diri untuk menikah dengan seseorang yang berbeda agama adalah sebuah bentuk egoisme. Orang tua beda agama yang menikah tidak memperhitungkan betapa mental anaknya akan terganggu saat melihat kedua orang tuanya berbeda keyakinan. Sang anak akan terjerat dalam kebingungan ketika harus memilih keyakinan siapa di antara keduanya. Padahal sang anak belum saatnya untuk dihadapkan persoalan pelik seperti itu.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan ketenteraman dan suasana hati yang tenang (sakinah). Setelah itu, baru kemudian mawaddah (cinta seksual), dan rahmah (kasih sayang). Apatah artinya ketenangan jika setiap hari dalam rumah tangga kita harus bertarung dengan jiwa sendiri karena melihat perbedaan keyakinan yang begitu mencolok? Bagaimana bisa tercapai ketenangan dalam keluarga jika sang suami dan istri yang berbeda keyakinan saling berebut pengaruh terhadap anaknya untuk menanamkan keyakinan masing-masing? Banyak hal yang mungkin tidak terpikirkan dengan matang saat kedua insan yang berbeda keyakinan memilih untuk menikah.

Islam tidak memandang pernikahan sebatas kontrak antara dua orang, suami istri semata. Dengan kata lain, pernikahan dalam Islam tidaklah semata bersifat individual antara kedua suami istri. Namun pernikahan yang dikehendaki Islam, sebagaimana yang saya pahami, adalah yang juga melibatkan orang lain, termasuk di dalamnya orang tua kandung masing-masing suami dan istri, mertua, dan masyarakat di sekelilingnya. Keterlibatan orang lain bukan dalam arti mencampuri urusan rumah tangga orang lain sehingga merusak kebahagiaan mereka. Namun keterlibatan itu adalah justru guna mencapai kebahagiaan bagi kedua suami istri.

Keterlibatan itu pula bisa dilihat bahwa Islam, kecuali mazhab Hanafi, mewajibkan pernikahan harus menggunakan wali bagi si calon pengantin perempuan. Orang tua yang baik tentu harus mengetahui dengan siapa anak perempuannya menikah. Apakah calon suami betul-betul hendak membahagiakan anaknya atau justru menyengsarakannya. Hal itu menunjukkan betapa penting kedudukan wali dalam pernikahan. Wallahu a'lam.

Posting Komentar