Rabu, 24 September 2008

Mengenal Diri


Pertanyaan tentang siapa diri kita; siapa aku; yang mana jati diri kita sesungguhnya adalah pertanyaan-pertanyaan klasik yang telah menyita perhatian banyak para filosof. Pernyataan tersebut adalah sesuatu yang penting untuk kita lontarkan. Hal itu karena menyangkut tentang eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bagaimana mungkin orang hidup bertahun-tahun tetapi tidak mengenal siapa dirinya sesungguhnya?

Dalam sebuah kalam hikmah terkenal --yang banyak disalahartikan sebagai hadis Nabi Muhammad—diungkapkan man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa rabbah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan. Dengan kata lain yang dibalik, siapa yang ingin mengenal Tuhan, maka kenalilah dirinya terlebih dahulu.

Lantas siapa diri kita sebenarnya. Jika “aku” adalah dikaitkan dengan jasad, tentu tidak tepat. Seorang Luna Maya, misalnya, bukanlah hanya terdiri wajahnya yang cantik. Meskipun wajahnya tiba-tiba tersiram air keras, dan membuat wajahnya jadi hancur berantakan, tetaplah ia dikatakan seorang manusia yang bernama Luna Maya, ia tidak berubah jadi seekor kambing. Jadi dengan demikian, jati diri seseorang tidaklah berkaitan erat dengan fisiknya.

Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan otaknya? Hal ini juga tampaknya tidak tepat. Einstein sekalipun otaknya yang cerdas itu diambil dari jasadnya yang sudah mati, ia tetaplah seorang manusia bernama Einsten. Ia tidak berubah menjadi robot.

Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan kedudukannya? Ah, hal itu juga tidak tepat. Soekarno tetaplah seorang manusia, meskipun kekuasaannya sebagai presiden “dirampas” oleh Soeharto dengan semana-mena melalui akal-akalan Supersemar. Meskipun Soekarno tidak lagi jadi presiden, ia tetaplah seorang manusia bernama Soekarno yang memiliki ciri khas tertentu.

Apakah jati diri manusia juga berdasarkan nama? Ah, tidak juga. Coba kita tanyakan pada Shakespeare. Ia jawab, “Apa arti sebuah nama?!” Meskipun, seorang Imam Samudera memiliki beberapa nama, misalnya, ia tetaplah merujuk kepada seseorang tertentu yang kita kenal sebagai seorang teroris Bom Bali I.

Lantas, gimana dong? Apakah manusia dikaitkan dengan nyawanya? Tampaknya ini juga kurang tepat. Seorang Nabi Muhammad meskipun nyawanya sudah tidak lagi menyatu dengan jasadnya, ia tetaplah seorang nabi yang dipuja oleh seluruh orang Islam di seantero jagad. Ia tetaplah merujuk kepada seseorang yang telah membuat sejarah besar di muka bumi yang dikemudikan dinobatkan oleh Michael H. Hart sebagai nomor satu di antara para tokoh yang pernah ada di dunia.

Apakah eksistensi manusia ditentukan pula oleh perbuatannya? Hidup adalah perbuatan, kata Sutrisno Bachir beriklan di berbagai media massa. Apa betul? Mari kita cek. Andaikan Sutrisno Bachir tidak melakukan sesuatu, misalkan ia tidak berkampanye, apakah lantas ia tidak menjadi seorang Sutrisno Bachir lagi? Tentu tidak kan. Ia tetaplah apa adanya, dengan atau tanpa berbuat sesuatu.

Mungkin, ini yang terakhir. Apakah manusia dengan hati nuraninya? Lho, hati nurani itu yang mana? Ini juga pertanyaan yang rumit. Hati nurani, menurutku pemahamanku yang ilmunya sejengkal, adalah berkaitan dengan sesuatu unsur dalam diri seseorang yang membuatnya bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Hati nurani adalah panduan ilahiah yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia. Karena itulah, Nabi Muhammad bersabda, “Ada sesuatu di dalam manusia yang jika ia baik, maka baiklah seluruh dirinya. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh dirinya. Sesuatu itu adalah hati nurani.” Nah hati nurani itulah yang harus kita pelihara dan jaga agar ia tetap terus menjadi panduan ilahiah yang senantiasa menerangi jalan hidup kita.

Ah, terus terang, aku juga masih bingung. Mari kita merenung lagi. Yang jelas, bagiku, manusia memiliki hati nurani, jasad, nyawa, nama, kedudukan tertentu, dan mampu melakukan perbuatan sendiri. Jadi manusia memang makhluk unik. Ia harus berbuat untuk kebaikan, dipandu oleh hati nuraninya. Perbuatan baik seorang manusia pasti akan membuatnya menjadi seseorang yang berharga di dunia dan akhirat. Perbuatan jahat akan membuatnya menjadi orang yang sengsara di dunia dan akhirat. Salah satu hadis Nabi yang sangat kupercayai hingga hari ini adalah, “Orang yang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Wallahu a’lam.

Posting Komentar