Kamis, 11 Desember 2008

Berlomba-Lomba jadi Caleg

Setiap kali saya berangkat ke kampus, saya terpaksa melihat berbagai baliho dan poster dari para caleg dan capres di sepanjang jalan. Sungguh, membuatku agak mual. Orang-orang berlomba-lomba mengajukan diri sebagai wakil rakyat dan pemimpin. Padahal belum tentu mereka kapabel dan memiliki integritas moral untuk mengemban amanat sebagai wakil rakyat atau pemimpin.
Euforia demokrasi setelah sekian lama terkungkung dalam rezim otoriter Orde Baru, ternyata membuat rakyat Indonesia tak ubahnya kuda binal yang baru lepas dari kandang. Orang-orang menunjukkan sikap narsistik. Merasa hebat, merasa mampu, pintar, dan seterusnya.
Bagiku, ini fenomena tidak sehat. Orang bisa dengan mudah mengajukan diri sebagai wakil rakyat atau capres. Dengan modal duit banyak, jatah kursi caleg bisa dibeli. Petinggi partai tak ubahnya cukong politik.
Di sisi lain, partai-partai gurem yang tidak memiliki basis massa kuat, akhirnya mengajukan caleg asal-asalan. Bayangkan, seorang anak "ingusan" yang tak memiliki pengalaman politik, bisa nangkring di urutan atas caleg. Ketika saya tanya tentang tugas utama seorang anggota legislatif, ia hanya melongo bingung. Ironis!
Saya setuju, kalau sistem kepartaian dipangkas. Sekarang jumlah partai sudah terlalu banyak. Banyak tokoh yang hanya karena kepentingannya di partai terdahulu tidak tertampung, ia pun buat partai baru. Mendirikan partai seolah seperti membuat karang taruna. Persoalan apakah partainya disukai rakyat atau tidak, menjadi tidak penting.
Sayang sekali, undang-undang kepartaian memang masih memungkin orang untuk mendirikan partai tanpa ada batasan jumlah. Harus ada undang-undang yang betul menyeleksi dengan ketat partai. Dengan demikian, jumlah partai tidak gemuk seperti sekarang. Akhirnya, hal itu diharapkan akan menjadi saringan ketat yang menghasilkan partai-partai yang betul memiliki basis massa dan ideologi yang kuat.
Para petualang politik yang hanya mengejar kekuasaan, harus dibatasi sepak terjangnya. Pembatasan jumlah partai bukanlah berarti melanggar HAM. Orang yang merasa mampu jadi pemimpin, silahkan mengasah dirinya dulu agar dipercaya orang. Jangan ketika tidak dipercaya, lantas berkoar-koar macam-macam. Hal itu hanya mencerminkan, dia memang belum layak jadi pemimpin yang bijak.

Posting Komentar